• PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home RESENSI BUKU

Sebuah Kisah dari Ayah

by Tasya Putri Kinasih
13 April 2020
6 min read
Sebuah Kisah dari Ayah

Buku Kepala Bukan Ekor (Ilustrasi: Ade Tegar I.)

Judul: Kepala Bukan Ekor | Penulis: Telly Dachlan | Penerbit: Gora Pustaka Indonesia | Cetakan: Pertama, April 2019 | Jumlah Halaman: 184 halaman | ISBN: 978-602-51146-8-7

Buku yang ditulis oleh Telly Dachlan ini berkisah tentang kenangannya pada sang Ayah. Di awal, saya kira buku ini berisi kiat untuk menjadi sosok pemimpin hebat. Namun tidak. Buku ini ternyata memberi lebih banyak hal daripada yang saya duga. Sungguh, kisah di dalamnya begitu sederhana dan lekat dengan kehidupan sehari-hari. Di sini, penulis berusaha menarasikan figur Ayah yang baginya sangat berperan penting dalam kehidupan si penulis, sosok Ayah yang mendidiknya lewat sifat kesederhanaan.

“Kita boleh saja menjadi pribadi yang bergelimang harta, namun jika mampu, tetaplah dermawan, penyayang, ramah, dan rendah hati. Kekayaan dipadu dengan kesederhanaan akan lebih mulia dan dicintai bukan saja oleh manusia namun juga menjadi kecintaan Allah,”

Ayah

Pola didik sang Ayah dalam penyelesaian masalah yang dihadapi anak-anaknya tanpa mengikutsertakan kekerasan sedikitpun turut disinggung oleh penulis. Meski sibuk dan punya karir sukses, Ayahnya masih sangat bijak dalam meniti hidup. Pesan kuncinya begini: “Apakah pekerjaan itu semakin mendekatkan, atau malah menjauhkan dari tujuan hidup yang sebenarnya?”

Aliran kisah yang beralur begitu saja dalam hidupnya itu dituangkan dalam bentuk tulisan untuk dipersembahkan kepada sang Ayah. Berbicara kisah, ada satu yang bagi saya menarik, yaitu ketika kedua orang tua Telly baru tahu bila ia ternyata belum bisa baca, kendati telah duduk di kelas 3 SD. Padahal, ia selalu berada di urutan pertama rangking kelas. Hal itu lantas membuat kedua orang tuanya tidak habis pikir.

Itu bisa terjadi sebab saat pelajaran membaca, Telly hanya diminta untuk membacakan satu paragraf yang diulang-ulang di buku yang dia sukai. Karena mudah, Telly hanya menghapal tanpa kenal hurufnya. Ia happy saja. Namun kebiasaan itu harus berubah tatkala ia naik ke kelas 3 SD. Karena saat itu ia harus bertemu dengan banyak buku yang berlembar-lembar, rahasia kecil itu akhirnya terbongkar.

Suatu malam, Ayah menemui Telly kecil. Ia bertanya tentang perbandingan antara jumlah teman di kelas dengan jumlah yang sudah pandai membaca. Telly bilang; semua teman di kelas sudah pandai baca, kecuali dirinya. Sang ayah kembali bertanya, “Siapa yang pandai menghapal di kelasmu?” Telly menjawab, hanya dirinya yang pandai hapalan. Ayah berdiri dan memeluk Telly lalu mengajaknya belajar sembari membisikan kata-kata, “Aku merasa sangat terhormat. Aku ternyata memiliki anak yang istimewa.” Agar semangatnya terpacu, kata-kata itu selalu diulangi Telly. Dalam kurun waktu satu minggu, ia sudah mampu membaca dan tidak ada yang sadar bahwa dirinya pernah buta huruf.

Label istimewa yang diberikan oleh sang Ayah membuat Telly berprestasi di setiap jenjang Pendidikan. Tak disangka bila ternyata mengganti istilah “buta huruf” dengan “pandai menghapal” seperti yang Ayahnya lakukan mampu membangkitkan rasa semangat seorang anak kecil dan membuat ia tergerak untuk mengatasi ketidakmampuannya. Kata-kata yang diucapkan oleh sang Ayah jadi semacam sugesti yang sempurna. Siapa sangka, Telly yang punya riwayat buta huruf, kini telah jadi tokoh yang menginspirasi dan sukses di perjalanan karirnya.

“Kepala Bukan Ekor” adalah kata-kata yang merujuk pada etos di dalam keluarga penulis. Kata itu digunakan dengan maksud agar kelak, anak-anaknya punya kemampuan memimpin di setiap aktivitas mereka.  Dalam hal ini, sang Ibu sangat teliti. Tempat untuk pemimpin, menurut Ibu, adalah di depan dan harus berani menunjukkan muka. Lain hal dengan sang Ayah. Ia berpendapat bahwa pemimpin haruslah lebih dahulu mampu untuk memimpin dirinya sendiri.

“Kalau mau jadi besar, kamu harus mau menjadi kecil dulu. Menjadi kecil maknanya adalah teruslah belajar meningkatkan kemampuan dan pengalaman,” kata Ayah berulang-ulang.

Kisah itu hanya salah satu dari sekian banyak hal luar biasa yang bisa disampaikan dalam buku ini. Masih banyak lagi gambaran hebat atas figur yang dimiliki oleh ayah Telly yang patut menjadi contoh dalam pendidikan karakter di keluarga. Berani bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, juga tak luput disampaikan dalam buku ini.

Pengalaman penulis yang pernah mengalami perlakuan tidak adil karena fisik yang tidak sesuai dengan “standar kecantikan” turut dituangkan. Sadar bahwa ia punya daya tarik yang “berbeda” dari temannya, membuat dirinya minder dan sedih. Akan tetapi, karena kebijaksanaan dan cara pandang yang berbeda yang ditunjukkan oleh sang Ayah dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, penulis akhirnya mulai paham.

Penjelasan sang Ayah bahwa kecerdasan yang dimiliki penulis adalah sebuah daya tarik lebih dibandingkan dengan daya tarik fisik teman-temannya mampu menghilangkan rasa minder itu. Jika ada perbedaan, kata sang ayah, hal yang mesti dilakukan adalah lihat apa yang bisa dicocokan dengan perbedaan itu dan aturan yang paling awal adalah kesediaan untuk menerima dan kemauan untuk memahami.

Tidak hanya emosi yang diaduk di dalam buku ini, melainkan juga ajakan untuk bisa menyelesaikan suatu masalah dengan sudut pandang yang berbeda. Selain berdasarkan kisah nyata sehingga cerita ini bisa relevan dengan keseharian kita, bahasa dan alur yang disampaikan Telly Dachlan juga mudah dipahami.

Bahkan, isi dalam buku ini pernah dikonfirmasi langsung kepada sumbernya yaitu ayah Telly Dachlan dalam sebuah diskusi di Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Saya yang saat itu hadir, turut menyaksikan sosok sang ayah. Di sana, penulis juga bercerita beberapa ihwal berkenaan dengan isi buku ini. Sungguh, itu jadi kesempatan yang sangat luar biasa bagi saya untuk bisa bertemu dengan sosok hebat seperti mereka.

Penulis: Tasya Putri Kinasih
Editor: Ade Tegar Irsandy

Tags: BUKUKELUARGARESENSITELLY DACHLAN
ShareTweetSendShare

Related Posts

Memoar Wirda: Meraih Mimpi dengan Bermimpi

Memoar Wirda: Meraih Mimpi dengan Bermimpi

15 Maret 2021
52

Bekal Liputan Investigasi Agar Tak “Bangkrut” di Tengah Jalan

9 September 2020
173
Berguru Melalui Kisah Hidup Iman Usman

Berguru Melalui Kisah Hidup Iman Usman

19 Agustus 2020
366
Meraba Zaman yang Kelabu

Meraba Zaman yang Kelabu

17 Mei 2020
155
Filosofi Lama untuk Mental Tangguh “Zaman Now”

Filosofi Lama untuk Mental Tangguh “Zaman Now”

11 April 2020
410
Kala Fromm Proyeksikan Dehumanisasi

Kala Fromm Proyeksikan Dehumanisasi

9 April 2020
203
Tank Merah Muda: Ingatan Reformasi dari Sudut Pandang Perempuan

Tank Merah Muda: Ingatan Reformasi dari Sudut Pandang Perempuan

10 Februari 2020
155
Melestarikan Kembali Peran Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter Anak

Melestarikan Kembali Peran Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter Anak

8 Februari 2020
187
Berjudi dengan Nasib di Lautan

Berjudi dengan Nasib di Lautan

7 November 2019
363

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA