Judul: Kambing dan Hujan | Penulis: Mahfud Ikhwan | Penerbit: PT Bentang Pustaka | Cetakan: Pertama, Mei 2015 | ISBN: 978-602-291-027-5
“Saya cuma melakukan apa yang mesti dilakukan orang yang memperjuangkan cinta dan cita-citanya,”
Kambing dan Hujan, hlm. 183
“Apa maksudmu?”
“Saya tak mau menjadi orang berikutnya yang gagal dari keluarga ini.”
Perbedaan seringkali menghalangi seseorang untuk mencapai keinginannya. Mencari pemecah perbedaan barangkali telah dilakukan hingga menemui benang kusut yang menumpahkan keputusasaan. Pertentangan, sangat lumrah ditemukan kala mencoba mengesampingkan perbedaan itu. Mengadu, menangis, berharap, dan berdoa seolah menjadi titik akhirnya.
Miftahul Abrar, pemuda yang tumbuh dalam tradisi Islam modern –Masjid Utara– harus mengorek luka lama Pak Iskandar, ayahnya dan Pak Fauzan seorang tokoh Islam tradisional –Masjid Selatan– sekaligus ayah dari gadis yang dicintainya, Nurul Fauzia. Meski seagama, perbedaan cara beribadah dan waktu hari raya tak lantas membuat hubungan mereka diterima. Jarak kultural kepercayaan yang selama ini menjadi prasangka penghalang restu kasih mereka pun, menduduki setengah porsi dari yang dibayangkan. Rencana masa depan yang menjelma pertentangan antara cinta dan norma agama justru menuntun Mif dan Fauzia pada sekelumit rahasia yang selama ini terpendam jauh sebelum mereka siap dilahirkan.
Kawin lari sempat menjadi pilihan agar hubungan mereka terus berlanjut. Namun kepercayaan akan kekuatan cinta dan pentingnya restu orang tua menjadi tekad yang harus mereka dapatkan. Sehabis Isya setelah makan malam bersama, Mif menunggu respon bapaknya atas perkataanya sebelum Maghrib yang begitu sengit dan berani. Cerita demi cerita mengalir hingga interupsi dari Ibu Sri, istri Pak Iskandar alias Ibu Mif menyadarkan mereka bahwa pagi sudah menjemput. Meski akhirnya, permulaan obrolan bapak dan anak ini tak sejalan dengan arah yang diinginkan Mif. Walaupun beberapa informasi disambut baik dan mampu mengaitkan benang merah di lain kisah.
Berbeda dengan Mif yang terus terang sekali waktu, Fauzia sempat memilih mogok makan untuk memperlihatkan kekesalan pada abahnya. Sampai suatu ketika hasil –informasi cerita masa lalu– merajuknya Fauzia pada abahnya dikait-kaitkan dengan informasi yang Mif dapatkan dan membongkar teka-teki yang selama ini mengganjal dalam benak mereka. Berlembar surat puluhan tahun lalu harus mereka hadapi beserta kenyataan rumit di dalamnya.
Novel yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini menyampaikan perdebatan antara dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Meski novel ini membutuhkan pikiran terbuka, kecermatan, dan keseriusan dalam membaca, namun penyajian kekompleksan dan kerumitan permasalahan ditulis dengan narasi yang sangat apik. Tidak hanya menjelaskan mengenai perbedaan niat dalam salat, perbedaan bacaan doa iftitah, ada atau tidaknya qunut saat salat Subuh, tradisi tahlilan dan shalawatan, perbedaan jumlah rakaat tarawih, dan tata cara menjalankan Salat Jumat. Novel ini juga mengaitkan antara persaingan agama, sikap dalam menghadapi peristiwa sosial, sejarah yang terjadi, dan perjalanan sebuah desa menuju perubahan zaman.
Pertentangan antara kaum tradisional dan kaum pembaharu yang memang terjadi saat itu digambarkan sangat detail. Persaingan dan metode penyebaran yang mampu serta merta memengaruhi masyarakat desa sekaligus melibatkan permasalahan di lingkungan keluarga dan interaksi dalam bermasyarakat. Selain menyajikan pertentangan kultur, dalam novel juga mengajak pembaca untuk menyikapi perbedaan-perbedaan yang teraplikasi di dunia nyata.
Novel ini mengajarkan bahwa perbedaan tak lantas memutuskan persahabatan, kekeluargaan, dan cinta yang tumbuh dalam setiap orang. Perbedaan sepatutnya disikapi dengan hati-hati, secara dewasa, dan cerdas tanpa meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Komunikasi dan saling keterbukaan tanpa saling menyalahkan menjadi media pemutus kesalahpahaman. Karya sastra ini menjadi pelajaran agar tetap menjaga keberagaman yang akhir-akhir ini dilupakan.
Penulis: Laeli Choerun Nikmah