Judul : My Not So Perfect Life (Hidupku yang Tak Sempurna)
Penulis : Sophie Kinsella
Alih Bahasa : Siska Yuanita
Sampul : Emte
Tahun Terbit : 2017
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Saya sangat mengapresiasi Sophie Kinsella karena menuliskan kisah Katie Brenner. Segala hal dalam hidupnya terasa tidak sempurna seperti orang lain. Ia selalu memandang orang lain memiliki hidup yang lebih mudah daripada dirinya.
Kehidupan sempurna VS kehidupan tidak sempurna menjadi narasi sentral dari kisah dalam fiksi ini. Saya jadi bertanya-tanya, siapa yang merumuskan kehidupan sempurna dengan asosiasi pekerjaan mapan, gaji besar, keluarga kaya raya, bentuk fisik yang tinggi semampai ramping, rambut berkilau ataupun kulit putih bersih? Apakah ini yang disebut societal pressure?
Tapi tidak bisa dielak lagi, bukan? Tolak ukur kesempurnaan memang sering diasosiakan begitu oleh society kita. Jadi saya tidak akan merevisi pertanyaan mengenai societal pressure dan betapa societal pressure itu mengerikan.
“Rumput tetangga selalu lebih hijau… bila diberi filter yang tepat.”
Pembuka blurb ini memang seringnya menjadi sumber keresahan dan ketidakpercayaan diri dalam menjalani hidup. Katie adalah gadis desa dari Somerset yang ingin mewujudkan mimpinya menjadi perempuan kota yang benar-benar ‘London’ lengkap dengan mengubah nama panggilannya menjadi Cat. Tak hanya itu, ia mengubah logatnya, menambahkan poni dan tatanan rambut berbeda karena Katie memang ingin menghapus identitas dirinya yang adalah gadis dari Somerset saat dirinya bekerja di salah satu perusahaan branding di London. Ia memulai karirnya dari strata paling bawah sebagai staf junior yang menginput hasil survei konsumen.
Sebagai penawar pahitnya perjuangan perantau di London, kehidupan media sosial instagram Katie membangun citra dirinya dengan kemewahan yang hanya ilusi. Siapa yang tahu ia hanya tinggal di flat sempit dengan hammock karena tidak mempunyai lemari pakaian dan kemanapun bepergian sambil berdesakan di kereta atau bus. Ia juga selalu membawa bekal untuk menghemat pengeluaran. Foto-foto instagramable yang membuat feed nya cantik hanya citra yang ingin ia tampilkan di muka publik bahwa hidupnya sempurna tanpa cela.
Kepalanya selalu berdengung dengan keirian ketika melihat kehidupan sempurna rekan-rekan kerjanya. Ia selalu membandingkan hidupnya dengan mereka. Terutama dengan Demeter, sang bosnya. Kisah ini amat menarik karena development character terbangun dengan apik dan kontinu. Bagaimana akhirnnya Katie menemukan makna kesempurnaan dan ketidasempurnaan dalam hidup. Bahwa apa yang terlihat tidak selalu mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya orang jalani.
Katie Brenner banyak belajar tentang makna hidup dan penerimaan diri semenjak dirinya diberhentikan dari tempatnya bekerja dan bergelut dengan susahnya mencari kerja di London sampai akhirnya ia menerima tawaran ayahnya dan Biddy, ibu tirinya untuk membantu bsinis baru keluarga di bidang glamping; Ansters Farm.
Sebagai pembaca saya menikmati perjalanan hidup Katie Brenner namun temponya yang lambat membuat saya ingin segera mencapai titik pusat dari konflik cerita. Rasa bosan selama membaca tak bisa dihindari karena banyaknya narasi dari sudut pandang Katie sebagai narator yang pada akhirnya memberikan kesan bahwa fiksi yang beralur maju ini hanya memainkan pergolakan batin dan emosional karakter utamanya.
Namun karena saya kepalang penasaran, saya berusaha bertahan untuk tetap membacanya. Sampai akhirnya saya menemukan ritme kenikmatan dari membaca fiksi ini. Tak pelak, saya menyadari bahwa penulis ingin pembaca ikut menemukan dan mencari makna-makna hidup serta penerimaan diri bersama karakter ciptaannya, Katie Brenner.
Tidak hanya penemuan-penemuan makna hidup yang akhirnya saya dapatkan, saya juga turut melakukan eksplorasi dunia kerja di bidang branding bersama Katie dengan segala ide menarik dan kreativitasnya. Selain itu, kisah keluarga Brenner yang membangun bisnis glamping dari nol terselip juga diantaranya drama keluarga serta selingan kisah pertemuan Katie dengan the right one nya yang membuat kisah di fiksi ini tidak hanya menarik tetapi juga sangat membumi sebab premis yang diangkat sangat dekat dengan kita, yakni mengenai citra dan penerimaan diri.
Katie Brenner adalah manifestasi dari apa yang saya dan mungkin banyak orang merasa terwakilkan. Pergolakan batin dan emosional Katie dinarasikan dengan gamblang. Membaca ini seperti berkaca pada diri sendiri karena masih sering membandingkan diri dengan orang lain yang terlihat lebih sempurna baik dari pencapaian maupun fisik. Hingga di penghujung kisah, sebagai penyelesaian konflik utamanya dengan Demeter bahwa yang terlihat sempurna pun memiliki sisi yang tidak sempurna dalam hidupnya.
Sebagai pelengkap dari tuntasnya kisah ini, Katie dan the right one nya menjadi penutup sempurna bagi saya dan membuat saya sebagai pembaca berpikir bahwa ‘sebenar-benarnya’ tidak ada kehidupan yang sempurna namun sebagai manusia kita bisa mengusahakan yang terbaik untuk memiliki kehidupan yang terlihat sempurna versi diri kita masing-masing dan bukan kehidupan sempurna versi society. Sebab terkadang sebagai manusia sering merasa silau dengan kesempurnaan orang lain dan melupakan bahwa ada celah meskipun setitik dalam hidup yang membuktikan bahwa tidak ada satupun kehidupan manusia yang sempurna.
Last but not least, untuk pemanis saya ingin menyelipkan kutipan yang diucapkan Katie, “Kurasa akhirnya aku berhasil mengetahui cara untuk merasa lebih baik dengan hidupku. Tiap kali kau melihat sisi gemerlapan orang lain, ingatlah bahwa mereka pun memiliki kebenaran yang payah, tentu saja begitu. Dan tiap kali kau menghadapi kebenaran yang payah dan merasa nelangsa serta berpikir. Apakah ini hidupku, ingatlah: bukan. Semua orang memiliki yang gemerlapan, bahkan tatkala yang gemerlapan itu sulit ditemukan.” –halaman 406-
Penulis : Lailatul Nur Aini
Editor : Zukhruf Kalyana Mukti