Judul: Filosofi Teras | Penulis: Henry Manampiring | Penerbit: Kompas | Tahun Terbit: 2019 | Jumlah Halaman: 320 halaman | ISBN: 978-602-412-519-6
“Damai dan tentram ini kokoh karena berakar dari dalam diri kita, bukan pada hal-hal eksternal yang bisa berubah, hancur atau direnggut dari kita.”
Manampiring dalam Filosofi Teras, 2019
Awalnya ketika melihat buku ini di toko buku, saya sama sekali tidak berminat untuk membaca apalagi membelinya. Alasannya simpel dan sederhana: Kata ‘Filosofi’ yang menjadi judul buku tersebut terasa berat dan sukar dipahami. Bagi saya pribadi, filosofi meninggalkan kesan rumit dan berat. Sebab ketika belajar filsafat, kita akan langsung dibawa pada pemahaman yang baru dan mungkin jarang dibahas dalam pelajaran manapun.
Misalnya membahas tentang pemikiran, nanti akan muncul pertanyaan; “Kenapa orang bisa berpikir? Kenapa orang berpikir ini? Kenapa orang memikirkan itu?”. Apalagi jika sudah bertanya perihal keberadaan sesuatu, seperti hakikat manusia, benda, langit, alam hingga Tuhan. Intinya semua dipertanyakan. Mulai dari hal yang menurut orang tidak penting, sampai yang benar-benar tidak penting sekali, asli, Hehe. Karena memang ilmu filsafat sendiri sejatinya menggali hakikat sesuatu hingga ke dasar-dasarnya.
Saya pribadi adalah orang yang kurang suka membaca. Kalaupun iya, saya hanya menyukai topik ringan yang mudah dipahami kaum awam. Namun ketika seseorang memberikan buku ini pada saya, demi menghindari rasa tidak enak hati, akhirnya saya putuskan baca.
Di luar dugaan, buku ini sangat mudah dipahami terlepas dari judulnya yang bertuliskan ‘Filosofi’. Isinya membahas tentang ketenangan jiwa serta bagaimana menemukan kebahagiaan sendiri tanpa menggantungkannya ke orang lain. Bisa dibilang, buku ini sekaligus mengangkat isu mental. Bahkan Henry Manampiring selaku penulis, turut menyajikan wawancara dengan Dr. Andri SpKJ FAPM selaku psikiater dengan spesialisasi Psychosomatic Medicine; Agstried Piethers, seorang psikolog pendidikan; Lia Halimatussadiah, seorang pengusaha dan penulis; juga Citta Cania Irlaine, seorang aktivis dan editor. Sebagai tambahan, Henry Manampiring juga membuat “Survei Khawatir Nasional” untuk mengetahui apakah orang-orang khawatir mengenai hidupnya. Fokus utama pada buku ini adalah untuk mengajarkan kita mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi fluktuasinya fase kehidupan.
Yang lebih menarik adalah alasan yang mendasari si penulis untuk membuat buku ini. Ia menggambarkan dirinya sebagai orang yang overthinking, mudah cemas, dan seringkali memiliki pikiran buruk. Penulis lantas mulai menyadari bahwa kondisinya semakin serius tatkala Ia mulai mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Berangkat dari situ, Ia memutuskan untuk menemui psikiater.
Psikiater lalu mendiagnosis Henry mengidap Major Depressive Disorder. Meskipun obat-obatan yang diberikan psikiater membantu, namun ia belum merasa cukup. Di tengah masa pengobatan itu, Ia menemukan buku-buku tentang Stoisisme yang membantunya lebih tenang, damai, dan tidak mudah marah. Akhirnya Ia memutuskan untuk menulis buku dengan berbagai pengalaman yang dialaminya setelah menerapkan filosofi ini.
“Seorang praktisi Stoa seharusnya merasakan keceriaan senantiasa dan sukacita yang terdalam, karena ia mampu menemukan kebahagiaannya sendiri, dan tidak menginginkan sukacita yang lebih daripada sukacita yang datang dari dalam (inner joys)”
Seneca dalam Filosofi Teras, 2019
Filosofi Teras (Stoisisme) dapat dikatakan sebagai filosofi zaman purba karena sudah berusia 2.300 tahun. Namun, ajarannya tetap relavan dengan kehidupan kita saat ini. Dalam pandangan Filosofi Teras (Stoisisme), rasa bahagia sederhananya dirasakan manakala terbebas dari emosi atau segala perasaan yang mengganggu. Orang Yunani menyebutnya phatos, yang artinya menderita karena sesuatu. Phatos dalam bahasa Inggris menjadi passion atau nafsu. Dalam pemikiran Stoa, phatos atau passion adalah emosi negatif atau emosi yang buruk. Apa yang disebut emosi negatif, berbeda dengan hasrat yang dianggap kaum Stoa alamiah atau netral belaka.
Hasrat adalah impuls atau dorongan untuk meraih sesuatu yang di dalamnya terdapat aktivitas representasi terhadap objek yang dihasrati. Representasi tersebut mau tak mau telah memuat persetujuan rasio terhadap value judgement dalam representasi itu sendiri. Bila hasrat akan sesuatu tidak terpenuhi, misalnya hasrat akan pekerjaan terhambat atau bila kita menghasrati sesuatu yang tidak masuk akal, seperti berhasrat tidak akan mati, maka kita akan jatuh ke dalam emosi negatif. Bagi kaum Stoa, emosi negatif didefinisikan sebagai hasrat eksesif; menghendaki sesuatu yang tidak masuk akal. Seperti halnya berhasrat untuk tidak menua.
Singkatnya, kunci kebahagiaan bagi Stoa adalah bilamana kita terhindar dari nafsu-nafsu tidak jelas, kecanduan atau addicted pada sesuatu, angkara murka, kehilangan kendali, dendam kesumat, kecemasan yang obsesif, dan rasa kesal yang berlebih-lebihan yang terangkum dalam empat jenis emosi negatif: iri hati, takut, rasa sesal atau pahit, dan rasa senang-nikmat.
Buku ini juga mencantumkan latihan mengatasi emosi, baik dalam pergaulan ataupun pekerjaan. Latihan-latihan yang dicantumkan juga dapat dilakukan oleh siapapun terlepas dari usia, profesi ataupun gender. Selain karena materi dalam buku ditulis dengan praktis, isinya juga sangat aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Hal demikian bisa terwujud sebab buku ini menuliskan pengalaman-pengalaman pribadi penulis. Meski, terdapat beberapa pengulangan materi yang sebelumnya sudah dijelaskan di bab lain.
Bahasa yang digunakan juga cukup komunikatif walaupun terdapat beberapa diksi yang mungkin tidak mudah dipahami semua orang. Walau begitu, buku ini termasuk buku yang tidak cepat membosankan karena diselingi oleh humor ringan yang diselipkan di beberapa tempat.
Penulis: Zukhruf Kalyana Mukti
Editor: Laeli Choerun Nikmah