Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home RESENSI FILM

Film 27 Steps of May, Kisah Sunyi dan Trauma Penyintas Kekerasan Seksual

by LPM Pendapa
14 Desember 2021
5 min read
Film 27 Steps of May, Kisah Sunyi dan Trauma Penyintas Kekerasan Seksual

Credit Photo: Pinterest

Judul               : 27Steps of May

Sutradara         : Ravi Bharwani 

Tanggal rilis    : 27 April 2019 

Durasi Film     : 112 menit 

Pilu dan trauma penyintas kekerasan seksual perkosaan diramu dengan rapih dalam film yang berjudul “27 Steps of May.” Film ini mengisahkan tentang seorang perempuan bernama May yang menjadi korban perkosaan diusia 14 tahun. Film ini mengangkat tema yang terbilang cukup berat dan serius, yaitu trauma penyintas perkosaan.

Diawali adegan May yang diperlihatkan masih mengenakan seragam Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedang berada di ramainya pasar malam seorang diri, May hanya fokus pada kesenangannya saat bermain disana dan tidak menyangka bahwa akan terjadi sesuatu yang dapat memusnahkan senyumnya. Semua itu berubah saat May hendak pulang ke rumah, diperjalanan dia ditarik paksa oleh segerombolan laki-laki dewasa asing yang kemudian dibawa ke sebuah ruangan. May diperkosa di ruangan tersebut, kemudian sesampainya di depan rumah, Ayah May mendapatinya dengan keadaan pakaian dan rambut yang berantakan serta tatapan mata yang kosong. Melihat keadaan putrinya yang tidak baik-baik saja Ayah May langsung menghampiri May dengan perasaan kaget, sedih dan khawatir.  

Peristiwa yang dialami May malam itu menorehkan luka dan trauma berkepanjangan dalam hidup May. Sejak kejadian tersebut hingga delapan tahun setelahnya, May tumbuh menjadi perempuan yang pendiam, tidak ada lagi senyum manis yang terlukis diwajah May dan tatapan matanya seolah mengisyaratkan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.

May enggan berbicara dengan siapapun bahkan tidak juga kepada sang Ayah. Perasaan takut terhadap dunia luar juga dirasakan May. Selama itu May tidak pernah keluar rumah pun tidak juga keluar dari kamarnya. May bertahan karena memiliki rutinitas-rutinitas yang monoton dan berulang kali, menyiratkan kehidupan May pasca kejadian tersebut terasa hampa dan tanpa ada variasi. 

Bagi kami yang menonton tidak heran jika turut bosan dengan adegannya, namun rasa turut merasakan sakit yang dialami May juga menghampiri. Trauma yang dialami May hingga adegan di film juga mempertontonkan jika May melakukan self harm dengan menyilet tangannya sendiri. 

Film ini turut menyoroti Ayah May. Diceritakan Ayah May adalah seorang petinju hebat, tetapi semenjak kejadian yang dialami May, rasa kesal dan amarah yang tidak terbendung menjadikan tinju sebagai tempat menyalurkan segala emosinya. Sebagai penonton, kesan akan ketulusan dan kesabaran dari seorang Ayah dalam film ini memunculkan perasaan iba. Sosok Ayah May menampilkan figur orang tua yang ikut frustrasi melihat anaknya menjadi korban perkosaan serta merasa telah gagal menjadi orang tua karena tidak bisa melindungi putrinya. 

Adegan di film ini juga memperlihatkan seorang pesulap, dari bertemunya May dengan pesulap tersebut langkah demi langkah harapan mulai terlihat menghampiri May. Sedikit demi sedikit May mampu bangkit dari traumanya.

Perasaan sedikit bosan karena menonton film ini bagi kami karena sedikitnya dialog. Film terfokus pada penyampaian trauma melalui adegan visual, selain itu sutradara yang membuat film ini seolah ingin penonton turut merasakan betapa hampanya kehidupan monoton yang dirasakan May sebagai penyintas perkosaan. Adegan May melukai dirinya ditampilkan secara terang-terangan serta sekilas adegan perkosaan juga ditampilkan. Kedua adegan tersebut cukup membuat  ngeri dan juga turut merasakan kepedihan dan sakit yang dialami tokoh May.

Sebagai korban perkosaan, May tidak mendapatkan keadilan. Di film ini tidak diperlihatkan pelaku kejahatan dihukum dengan adil, padahal adegan tersebut yang kami tunggu-tunggu. Namun begitu, film ini memang lebih fokus mempertontonkan bagaimana Tokoh May bertransformasi menjadi penyintas perkosaan untuk melewati trauma kejadian kelamnya hingga bagaimana akhirnya May mau kembali melihat dunia luar.

Film yang disutradarai oleh Ravi Bharwani ini dikemas dalam balutan color grading yang menciptakan nuansa kelam dan kami sebagai penonton rasanya turut terjebak dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam film. Akting para pemeran juga begitu natural dan terlihat sangat menjiwai perannya. 

Tokoh May memberikan arti bahwa dalamperkosaan, korban dari perkosaan yang paling menderita. Tanpa disadari, pelaku perkosaan walaupun tidak sampai melakukan pembunuhan terhadap korban tetapi secara tidak langsung dapat membunuh korban. Mungkin bukan raganya yang mati tapi jiwanya.

Penulis : Nurul Husna & Yessi Evitasari
Editor  : Lailatul Nur Aini

Tags: 27 Steps of MayKisah SunyiPenyitas Kekerasan SeksualTrauma
ShareTweetSendShare

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA