Judul: Revolusi Harapan | Penulis: Erich Fromm | Penerjemah: Hari Taqwan Santosa | Penerbit: IRCISOD | Cetakan: 2019 | ISBN: 978-623-7378-11-2
“Hantu menguntit di antara kita. Namun, hanya orang yang melihatnya dengan jelas. Hantu ini bukan hantu lama, seperti komunisme dan fasisme. Ia adalah hantu baru: masyarakat yang termekanisasi secara lengkap, tunduk pada output materi dan konsumsi maksimal, dan diarahkan oleh komputer-komputer.”
Oleh Karunia Kalifah Wijaya, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa angkatan 2019. Pencinta kopi hitam serta pencandu rokok Lodjie.
Buku “Revolusi Harapan” ini dibuka dengan sebuah narasi yang menjelaskan tentang kondisi masyarakat Amerika yang secara perlahan mulai tunduk pada hegemoni teknologi. Suatu bentuk hegemoni yang pada akhirnya melahirkan manusia-manusia yang memiliki sifat individualis. Manusia-manusia yang terhegemoni oleh teknologi tersebut, di dalam buku ini digambarkan sebagai manusia yang hanya memiliki keinginan untuk memproduksi dan mengkonsumsi lebih dan lebih lagi. Gambaran masyarakat Amerika Serikat pada tahun 1968 ini seakan juga menjadi gambaran yang sama dengan kondisi masyarakat kita pada saat ini: masyarakat yang hanya memusatkan perhatian pada nilai-nilai teknis dan material, serta kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya.
Di dalam buku ini, Erich Fromm melancarkan kritiknya terhadap ideologi-ideologi serta konsep-konsep yang telah kehilangan sisi menariknya. Ia menjelaskan bahwasanya di era saat itu, klise-klise tradisional seperti kanan dan kiri atau kapitalisme dan komunisme telah kehilangan maknanya. Manusia-manusia di era saat itu lebih tertarik untuk mencari orientasi baru dan/atau filsafat baru, yang berpusat pada keutamaan hidup secara fisik dan spiritual namun tidak pada keutamaan kematian. Manusia-manusia tersebut pada akhirnya melahirkan suatu bentuk ketertarikan terhadap kekuatan hukum dan tatanan. Suatu bentuk ketertarikan yang pada akhirnya menghasilkan metode-metode birokratis yang pada akhirnya tanpa disadari, telah membentuk manusia menjadi pesimis dan/atau manusia yang kehilangan harapan.
Di dalam buku ini pula, Erich Fromm mengkritik tentang kesalahpahaman hampir sebagian umat manusia dalam memahami arti dari harapan. Kebanyakan orang berpikir bahwasanya arti dari harapan sama dengan arti dari hasrat dan/atau keinginan. Lebih lanjut Ia menjelaskan bahwasanya, mereka yang berhasrat pada mobil, rumah, dan perkakas yang lebih banyak dan lebih baik lagi adalah sekelompok manusia yang penuh nafsu atas konsumsi yang lebih dan bukan orang-orang yang penuh harap. Harapan, menurut Erich Fromm, adalah unsur penentu dalam sembarang upaya untuk membawa perubahan sosial ke arah sifat hidup, kesadaran diri, dan akal yang lebih besar.
Selain itu, dirinya juga menuliskan prediksinya terhadap masyarakat yang terdehumanisasi pada tahun 2000. Perlu dicatat bahwasanya buku “Revolusi Harapan” ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1968, namun gambaran Erich Fromm tentang masyarakat yang terdehumanisasi pada tahun 2000 seakan menjadi gambaran yang nyata. Ia menuliskan bahwasanya masyarakat pada tahun 2000 memiliki daya juang yang keras untuk meraih kebebasan dan kebahagiaan. Namun menurut Erich Fromm, periode tersebut justru menjadi awal bagi manusia untuk berhenti menjadi manusia.
Manusia di periode 2000-an adalah suatu bentuk manusia yang bertransformasi menjadi mesin yang tidak berpikir dan tidak merasa. Masyarakat di periode 2000-an adalah manusia yang bergerak secara cepat dan memiliki rutinitas yang perlahan namun pasti melunturkan esensi kemanusiaannya. Lebih lanjut, Erich Fromm menjelaskan bahwasanya masyarakat di periode 2000-an adalah sekelompok mesin yang secara sosial dan ekonomi, berada di bawah kontrol tatanan dan kekuatan segelintir orang yang memiliki modal. Cara pandang Erich Fromm terhadap sistem birokrasi yang kapitalis ini, tidak lah bisa dilepaskan dari pengaruh Neo-Marxisme yang ada pada dirinya. Walaupun Erich Fromm lebih dikenal sebagai sosok Psikoanalisis serta Sosiolog, namun dirinya juga merupakan salah satu asosiasi untuk sekolah Frankfurt yang bergerak di dalam teori kritik.
Dalam beberapa poin lain yang ada di dalam buku ini, Erich Fromm juga menjelaskan apa arti dari menjadi manusia yang secara nyata, ditinjau dari syarat-syarat keberadaan manusia. Tak hanya itu, di buku ini pula Erich Fromm menjelaskan bagaimana pentingnya masa lalu sebagai tempat untuk melangkah maju. Ia menjelaskan tentang kesombongan manusia-manusia modern yang seolah tidak lagi memerlukan pelajaran dari masa lalu, karena bagi manusia modern, karya yang mereka hasilkan jauh lebih agung daripada karya-karya para pendahulunya.
Norma, Budaya, serta Etika menjadi poin-poin yang juga ditegaskan oleh Erich Fromm dalam buku “Revolusi Harapan” ini. Pada poin penegasan yang lain, Erich Fromm memaparkan betapa perlunya masyarakat untuk membangun suatu bentuk Revolusi Humanisme. Revolusi yang tidak hanya berdasarkan pada harapan semata, tapi juga berdasarkan pada cinta serta keimanan.
Editor: Ade Tegar Irsandy