SORBAN DAN SERAGAM
Seragam tembak sorban,
Atau sorban menikam seragam?
Masing-masing mulut berjalan,
Mengiringi jutaan pasang mata,
Saksikan opini bertebaran,
Di koran-koran gentayangan,
Di televisi berkoar-koar macam api,
Yang memantik emosi.
Sedang di otak ia membuat retak,
Marah dan benci pada diskriminasi,
Para politisi menebar sensasi,
Ulama tampak terlena,
Media kian mengeruk segala,
Dari kebisingan yang menuai misteri.
Sorban berdarah, seragam lusuh urakan,
Suara beceng dan rintih minta ampun
Saling berjejalan.
Peristiwa dini hari sisakan tanda tanya,
Kamera pengintai telah tewas,
Jalan raya itu gigil dan bertanya,
“Apakah sinar surya dapat menyingkap semuanya?”
DARAHMU DARAHKU
Darahmu tercecer di jalanan,
Meronta kesakitan, sangsikan,
Hukum pincang berjalan,
Darahku jatuh di pipi,
Selepas air mata kering,
Menuai sensasi pedih,
Berguguran cinta dan benci,
Saling cabik satu sama lain.
Darah kita merekat pada anak-anak,
Melihat ayah ibunda terbakar,
Sebab suku dan agama bergolak,
Palu arit kerap disalahkan, dibantai,
Kita saksikan riuh rendah tawa,
Dari orang gila pencabut nyawa,
Atas nama Pancasila
BILA REDUP HATINYA
Redup mengetuk hati,
Padamkan gelora jiwa,
Yang meletup ciptakan bunga api,
Membakar gairah, kini jadi abu,
Beterbangan dengan angin,
Entah ke mana ia pergi,
Atau mungkin ia mati?
Bilamana itu terjadi,
Mampuslah nurani!
Tiada peduli seorang ibu,
Masih menanak batu untuk buah hati,
Tiada peduli bocah lelap,
Di gerobak penuh kardus,
Dan sampah plastik.
Tiada peduli penguasa kian licik,
Menggodok kebijakan untuk perut,
Yang kenyang dan gendut.
Sedang gubuk, masih terus bersanding,
Di samping apartemen yang,
Mengangkang sombong tiada tanding.
ANA MONTANA
Jemarimu sentuh bahuku,
Dan kau bercerita tentang mimpi semalam,
Seorang lelaki datang memberikan mawar,
Lantas mengajaknya makan di taman rindang.
Ceri hingga stroberi dengan cokelat panas,
Mendekap tubuh dan merampas kisah yang selama ini,
Terjalin dengan pria yang ia kenal.
Jatuh dan bangkit bertubi-tubi,
Dirajut selendang kilau lazuardi
Agar dirimu tak luput hilang ditelan aral.
Ana Montana,
Gunung kini merenung,
Jua pria di seberang sana,
Di antara hambarnya dunia nyata,
Berdiri kukuh bersimbah darah,
Dari urat nadinya yang tak mendesah!
Terketukkah empati yang kau simpan di hati?
Lekas rapal mantra di sisi telinga,
“Aku cinta padamu, aku cinta padamu!”
Bangkitkan gairah dengan kecup mesra,
Biarlah bianglala hadir,
Mewarnai harimu yang lara.
ANJING LIAR
Jam dinding berdetak,
Mendesah dari detik ke detik,
Terbangun jiwaku dengan mata tercekik,
Sedang puntung telah mati,
Hanya abu yang bergumul di asbak.
Mentari masih malu untuk bangkit,
Dari tidurnya yang cukup lama,
Persis secangkir kopi yang kritis,
Endap ampas pekat menumpuk,
Minta untuk dibuang secepatnya.
Lekas bangun rapikan meja,
Terserak surat-surat semesta,
Yang rindu padanya; cepatlah datang,
Berlari menuju hari dengan tawa,
Yang berseri.
Namun jemala penuh gonggongan,
Para anjing liar semalam mendobrak,
Dan meneror dada dengan tanda tanya,
“Sudah dapat kerja belum?”
“Kapan nikah?”
“Kapan punya anak?”
Jakarta, 2020
Ardhi Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Tulisan esainya dimuat di islami.co. terminalmojok.co, tatkala.co, nyimpang.com, nusantaranews.co, pucukmera.id, ibtimes.id., dan cerano.id. Puisinya “Memoar dari Takisung” dimuat di buku antologi puisi “Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019”. Puisinya juga dimuat di media seperti kawaca.com, catatanpringadi.com, apajake.id, mbludus.com, kamianakpantai.com, literasikalbar, ruangtelisik, sudutkantin.com, cakradunia.co, marewai, metamorfosa.co, morfobiru.com, Majalah Kuntum, Radar Cirebon, koran Minggu Pagi, dan Harian Bhirawa. Penulis buku antologi puisi tunggal Lelaki yang Bersetubuh dengan Malam. Salah satu penyair terpilih dalam “Sayembara Manuskrip Puisi: Siapakah Jakarta”. E-mail: ardhir81@gmail.com, Instagram: @ardhigidaw, FB: Ardhi Ridwansyah
Sumber gambar: beritasatu.com