Senin (03/02/20), bertempat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Komite International Woman’s Day (IWD) Yogyakarta mengadakan diskusi bertajuk “Melihat Sudut Pandang Negara, Sosialisme dan Agama Terhadap Otoritas Tubuh Perempuan. Mau Dibawa Kemana RUU PKS?”. Dihadiri oleh Lingkar Studi Sosialis (LSS), Lavender Study Club, People Like Us Satu Hati (PLUSH), dan Women March Yogyakarta, diskusi ini menjadi awal dari rangkaian agenda yang akan dilaksanakan oleh Komite IWD dalam rentang waktu hingga 8 Maret mendatang untuk menyambut Hari Perempuan Internasional.
Menghadirkan Meila Nurul Fajriah dari LBH Yogyakarta, Pipin Jamson selaku Dosen Fisipol UGM, dan Kalis Mardiasih sebagai Narasumber, Diskusi diawali Meila dengan menyajikan data dari Komnas Perempuan bahwa pada tahun 2019 angka kekerasan seksual tertinggi berada di Jawa Tengah. Adapun Provinsi DIY mencatatkan jumlah korban sebesar 569 orang. Ironisnya, perempuan penyandang disabilitas turut menjadi korban kekerasan seksual.
“Korban disabilitas di Yogyakarta merupakan yang tertinggi di Indonesia dengan 47 korban,” ungkap Meila.
Ia kemudian menjelaskan bahwa di KUHP lama, ada 3 payung hukum yang membahas masalah kekerasan seksual, yaitu Kejahatan Terhadap Kesusilaan di pasal 281, tentang Perkosaan di pasal 285 dan 206, serta Pencabulan di pasal 289 dan 296. Namun secara substansial, payung hukum tersebut belum cukup untuk melindungi korban, karena pemaknaan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual yang beragam, masih sempit. Selain itu, lamanya waktu dan proses pelaporan ke kepolisian yang rumit turut menjadi alasan karena dalam proses tersebut dibutuhkan setidaknya 2 barang bukti.
“Ketika masuk ke kepolisian pun kita dihadapkan dengan BAP yang mengharuskan kita menceritakan dengan jelas bagaimana pelecehan itu terjadi. Juga dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menstigma, kenapa berpakaian seperti itu dan kenapa keluar malam,” tegasnya.
Menurut Meila, negara seharusnya hadir dalam mengatasi masalah kekerasan seksual dengan cara segera mengesahkan RUU PKS. Karena di RUU tersebut, jumlah bentuk kekerasan seksual lebih banyak daripada di RUU lama.
“Seperti eksploitasi seksual, pemaksaan terhadap aborsi, hingga adanya pemulihan korban,” ungkapnya.
Kemudian Meila menambahkan yang menjadi penekanan dalam mengatasi masalah tersebut adalah tersedianya fasilitas pemulihan untuk korban seperti penyediaan Psikolog gratis dari negara. Karena selama ini, negara hanya fokus dalam cara menghukum pelaku, dan malah justru lepas tangan terhadap korban.
Sementara itu. Pipin mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual tidak bisa dilihat sebagai masalah individu, melainkan harus dilihat sebagai problem kemasyarakatan yang dipengaruhi oleh keadaan sosial dan tatanan masyarakat yang seksis. Ia lantas menerangkan metodologi keluarga di zaman dahulu dengan keluarga di zaman setelah hadirnya negara.
Pada keluarga zaman dahulu, proses produktif dan reproduktif dilakukan pada ranah domestik atau keluarga sehingga tidak ada pemisah antara masalah privat dan publik. Sedangkan di era keluarga setelah hadirnya negara, proses produktif dan reproduktif dipisah. Proses produktif dilakukan oleh negara dan proses reproduktif dilakukan di ranah domestik, sehingga dampaknya adalah ketika ada kejahatan yang terjadi pada individu dalam ranah keluarga, akan dilimpahkan kepada si individu sendiri tanpa campur tangan dari negara.
Selanjutnya Pipin menegaskan pentingnya gerakan untuk mendorong agar masalah yang sifatnya privat, menjadi tanggung jawab negara seperti dalam perkara pemulihan korban kekerasan seksual. Ia beralasan bahwa gerakan tersebut penting karena apa yang dirasakan hari ini, tidak diberikan begitu saja. Melainkan buah dari hasil pergerakan.
“Gerakan tidak akan berkembang jika tidak didukung dengan teori-teori yang kuat dan analisis praktik sebelumnya,” tutur Pipin.
Banyaknya pro dan kontra dari sudut pandang Islam yang hinggap di RUU PKS karena dianggap bertentangan dengan Syariah dan Fikih, serta anggapan bahwa RUU tersebut dapat melemahkan nilai-nilai keluarga menjadi topik diskusi Kalis selanjutnya.
Kalis menjabarkan bahwa Syariah adalah aturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis yang tidak dapat diubah, namun aturan tersebut harus ditinjau kembali mengenai siapa dan bagaimana cara ia membacanya. Sedangkan Fikih adalah hasil pemikiran manusia. Begitu pun dengan Perda Syariah yang merupakan hasil kebijakan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan kepentingan berasaskan nilai keislaman. Artinya, peraturan itu bisa diubah sesuai dengan keadaan atau kebutuhan zaman sekarang.
“Bukan berarti kita anti produk Fikih yang lama, tetapi kita diberi kesempatan berpikir kritis untuk mengubah itu,” tegas Kalis.
Ia kemudian menambahkan bahwa RUU PKS tidak merusak nilai keluarga, namun justru menawarkan nilai-nilai kekeluargaan yang berdasarkan pada kesetaraan dan anti kekerasan.
Di akhir diskusi, Pipin mengatakan bahwa RUU PKS sudah lama diajukan namun negara tidak bersedia mengesahkannya karena negara memiliki kepentingan yang berbeda dengan rakyat. Maka dari itu, gerakan penting untuk mengawal dan mendesak pemerintah guna segera mengesahkan RUU PKS serta mendorong agar masalah privat, seperti pemulihan korban kekerasan seksual, menjadi masalah publik.
“Semakin kita tidak menyuarakan, semakin akan ditelan bumi,” tegas Pipin.
Reporter: Nurlaili, Tasya Putri Kinasih, Theresia Priska Alfeyans
Penulis: Nurlaili
Editor: Ade Tegar Irsandy