Pandemi Covid-19 telah berlangsung selama lebih dari setahun. Hal ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia seperti aspek ekonomi, kesehatan hingga psikologis. Sebagai manusia kita diharuskan untuk menerapkan berbagai macam kebiasaan-kebiasaan baru, seperti diharuskan menjaga jarak hingga beradaptasi dengan berkegiatan secara daring. Kemudian demi mengurangi risiko penyebaran virus ini, pemerintah juga melakukan beberapa kebijakan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan lain-lain. Hal ini membuat masyarakat mengurangi mobilitasnya dan mengalihkan berbagai kegiatan seperti bekerja ataupun sekolah dilakukan secara daring di rumah, hingga internet, komputer, ponsel pintar dan barang-barang elektronik lainnya menjadi kebutuhan primer pada masa pandemi ini. Kebutuhan akan mengakses internet menjadi lebih besar, tak terkecuali pada anak-anak yang menjadi bergantung pada internet untuk mencari hiburan.
Data we are social-Hootsuite yang dimuat dalam News.detik.com, menunjukan bahwa selama bulan Januari 2021 jumlah pengguna internet (baik usia muda maupun tua) di Indonesia terjadi penambahan 27 juta pengguna atau 73,7% dari 274,9 juta total populasi Indonesia. Tak hanya jumlah pengguna, waktu dalam mengakses internet juga meningkat dari 7 jam 59 menit menjadi 8 jam 52 menit. Hal ini menandakan lebih dari seperempat waktu yang kita miliki dalam sehari digunakan untuk mengakses internet. Sedangkan menurut hasil survei nasional KPAI selama masa pandemi ini menunjukkan bahwa setidaknya hampir 60% anak-anak di Indonesia sudah menggunakan media digital.
Hal yang paling saya soroti karena mencengangkan adalah hasil dari survei KPAI tersebut juga menunjukan 22% anak-anak Indonesia mengakses tayangan tidak sopan ataupun pornografi selama masa pandemi. Tak hanya itu, menurut catatan situs website Pornhub, konsumsi tayangan pornografi selama masa pandemi meningkat hingga 24% pada tahun 2020 dengan konsumen dari berbagai usia, termasuk anak-anak. Rata-rata usia seseorang terpapar dengan pornografi adalah 11 tahun.
Hal ini mencemaskan, mengingat peraturan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang mengharuskan anak-anak memegang ponsel untuk menunjang pembelajaran, malah menjadi kesempatanmereka untuk menghabiskan banyak waktu mengakses berbagai hal di luar pembelajaran, tak terkecuali tayangan bermuatan pornografi. Seperti yang kita ketahui, pornografi memiliki dampak yang berbahaya, terlebih jika dikonsumsi oleh anak dibawah umur. Pornografi dapat merusak mental dan intelektual anak. Tak hanya itu, pornografi yang terus-menerus dikonsumsi dapat memengaruhi persepsi anak.
Anak menjadi mudah membayangkan tayangan atau adegan bermuatan pornografi yang mereka lihat dalam keseharian. Apa yang anak lihat secara terus-menerus akan terekam dalam pikiran, sehingga besar kemungkinannya hal ini akan membentuk perilakunya. Terlebih pada usia anak-anak, dimana nilai-nilai dan norma belum dapat terbentuk sepenuhnya, sehingga mereka belum mengerti batas-batas jelas perihal nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Ketika mengonsumsi pornografi sudah menjadi kebiasaan bahkan pada level adiksi, maka hal ini sulit dihentikan.
Hal ini didorong oleh respon otak yang mengeluarkan hormon dopamin ketika seseorang menonton konten pornografi dan membuat otak menjadi rileks, bahkan senang. Semakin banyak konten yang ditonton, maka semakin banyak pula produksi hormon dopamin. Sayangnya, untuk memenuhi kepuasan dan kesenangan tersebut maka seseorang harus melihat lebih banyak lagi dari sebelumnya demi memicu lebih banyak hormon dopamin, hal inilah yang menyebabkan kecanduan.
Saya mengingat sebuah berita yang memuat pendapat salah satu pengamat konten pornografi (yang sayangnya tidak bisa saya cantumkan pustakanya karena ini berita lawas) mengatakan bahwa sasaran konsumen mereka merupakan anak-anak dengan kondisi BLAST yaitu boring (bosan), lonely (kesepian), angry (marah), stress (tertekan), dan tired (kelelahan). Anak-anak dengan kondisi inilah yang paling rentan akan pornografi, karena mereka membutuhkan rasa nyaman dan kepuasan. Selain itu, anak-anak belum memiliki pengendalian diri yang kuat sehingga memiliki kecenderungan menjadi konsumen tetap.
Hal ini relavan dalam masa pandemi. Masih berdasarkan hasil survei dari KPAI, survei ini menunjukkan 63% anak merasa bosan dan 3% merasa tidak nyaman akan kondisi ini. Hal ini membuat anak-anak rentan mencari penghiburan dari berbagai hal. Dalam masa seperti inilah peran keluarga sangat penting untuk menjaga kondisi mental anak-anak. Keluarga juga menjadi tempat utama penanaman nilai dan moral yang berfungsi membentuk kepribadian dan karakter seseorang untuk pertama kalinya. Keluarga harus menjadi support system bagi para anggotanya, terlebih saat ini kita diharuskan membatasi diri bertemu orang luar.
Perasaan adalah hal yang valid. Apapun yang sedang dirasakan anak tidak boleh diabaikan dan sebaiknya divalidasi. Ajak anak-anak mengenali perasaan mereka dan dengarkan ceritanya. Menurut saya, pandemi ini dapat menjadi kesempatan kita untuk mengenal dan memahami anggota keluarga kita lebih jauh. Kita dapat memulai dengan hal-hal yang mudah, seperti bertanya bagaimana perasaan mereka hari ini, apa kegiatan yang ingin mereka lakukan hari ini atau apakah ada yang bisa dibantu. Dibanding mencari kenyamanan dari hal lain, bukankah lebih baik kita membuat kenyamanan itu sendiri meskipun dalam lingkup terkecil?
Kita harus mulai mengurangi penggunaan media sosial dan sibuk sendirian. Kita adalah bagian dari suatu lingkungan dan hubungan, sehingga memiliki tanggung jawab untuk saling menjaga. Mari luangkan waktu sejenak namun berkesinambungan untuk membuat waktu yang berkualitas dengan keluarga kita. Kita bisa memulainya dengan obrolan ringan, mendengarkan dan memahami perasaan mereka, menjaga mereka, memastikan mereka tidak sendirian dan menunjukkan bahwa kita ada untuknya. Hal yang sepele seperti ini seringkali terlupakan. Padahal, hal sepele bisa membuat kita tergelincir dalam jurang yang dalam tanpa disadari. Semoga dengan adanya pandemi ini, rasa kemanusiaan kita lebih terasah. Kita tak hanya menjaga diri kita sendiri namun juga orang lain.
Daftar Pustaka
Dinsos.jogjaprov.go.id. (2021, 19 Maret). Dampak Pornografi pada Anak Lebih Parah dari Narkoba. Diakses pada 22 Juli 2021, dari http://dinsos.jogjaprov.go.id/dampak-pornografi-pada-anak-lebih-buruk-dari-narkoba/
News.detik.com. (2021, 24 Februari). Pandemi dan Meningkatnya Kebutuhan Akses Data Internet. Diakses pada 22 Juli 2021, dari https://news.detik.com/adv-nhl-detikcom/d-5435334/pandemi-dan-meningkatnya-kebutuhan-akses-data-internet
Lifestyle.kompas.com. (2020, 1 Desember). Saat Anak Terpapar Konten Pornografi, Apa yang Harus Dilakukan?. Diakses pada 22 Juli 2021, dari https://lifestyle.kompas.com/read/2020/12/01/203529320/saat-anak-terpapar-konten-pornografi-apa-yang-harus-dilakukan?page=all
Nasional.kompas.com. (2020, 16 Agustus) KPAI: 22 Persen Anak Menonton Tayangan bermuatan Pornografi saat Pandemi. Diakses pada 22 Juli 2020, dari https://nasional.kompas.com/read/2020/08/16/11564091/kpai-22-persen-anak-menonton-tayangan-bermuatan-pornografi-saat-pandemi?page=all
Penulis : Zukhruf Kalyana Mukti
Editor : Lailatul Nur Aini