Jika kita mendengar nama becak pasti langsung terlintas dipikiran kita sebuah kendaraan beroda tiga dengan mengayuh sebagai tenaga penggeraknya. Apalagi saat jalan-jalan di salah satu objek wisata di Yogyakarta yaitu Malioboro, sudah tak asing lagi kita melihat jajaran tukang becak yang menjajalkan nasib ditepian jalan, siap kapan saja memeras tenaga kedua betisnya untuk mengayuh becak ke arah tujuan yang dihendaki penumpangnya.
Seorang sejarawan Sartono Kartodirdjo (1981) mengatakan “Becak di Yogyakarta mulai muncul sebelum Perang Dunia 2″. Sementara sumber lain mengatakan becak masuk ke Yogya melalui Semarang pada zaman penjajahan Jepang. Becak Jogja mengalami masa jaya mulai tahun 1950-an dan terus berkembang hingga tahun 1990-an. Seiring arus modernisasi transportasi, becak yang lamban dan membutuhkan tenaga kayuh manusia, semakin terpinggirkan secara perlahan.
Semua terbukti, pada 2014 jumlah Surat Izin Oprasional Kendaraan Tidak Bermotor (SIOKTB) untuk becak yang dikeluarkan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta mencapai 5.500 becak dan berkurang menjadi 5.048 becak di tahun 2016, dan pada tahun 2018 hanya mencapai 3.325 unit.
Untuk beradaptasi dengan zaman, banyak dari tukang becak di Malioboro yang melakukan transisi dari yang semulanya menggunakan tenaga kayuh menjadi tenaga mesin atau yang akrab disapa Becak Motor (Bentor), hanya sedikit sekali yang masih bertahan dengan becak tenaga kayuh. Sebenarnya antara becak motor dan becak kayuh tidak terlalu jauh berbeda, penumpangnya pun makin hari makin sepi, bisa dihitung dengan jari becak-becak yang terlihat lewat membawa penumpang di jalanan Malioboro. Tentu saja kalau dipikir-pikir, di zaman modern sekarang ini telah tersedia transportasi berbasis daring seperti Grab dan Gojek misalnya, yang cepat, murah dan simpel, tanpa harus melewati proses negoisasi harga terlebih dahulu.
Tidak bisa dipungkiri kini kondisi becak di Malioboro semakin hari semakin melemah. Kendaraan yang sudah menjadi salah satu ikon budaya sekaligus pekerjaan sehari-hari sebagian masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekarang ini patut dipertanyakan keberlangsungan keberadaannya.
“Bagaimana nasib ku kelak?” adalah kalimat yang selalu saja terngiang-ngiang di telinga tukang becak saat sedang mengobrol dengan teman-teman seperjuangannya. Bagaimana tidak, saat ini perekonomian mereka sedang tidak baik-baik saja, apalagi kebanyakan dari mereka punya keluarga yang harus dinafkahi dan anak-anak yang harus sekolah.
Sudah seharusnya saat ini kita bertanya: kalau becak merupakan warisan budaya tradisional bangsa Indonesia, dimana peran pemerintah dalam melestarikannya?
Pemerintah di Yogyakarta seharusnya lebih paham bagaimana kondisi tukang becak yang menjajalkan nasib ditepian jalan Malioboro, tapi bagaimana mereka bertindak belum nampak betul di sepasang mata kita saat ini. Kota Yogyakarta yang semakin modern dan sesak membuat becak semakin terdesak, mau sampai kapan kita berdiam diri melihat mereka hancur lebur dikoyak-koyak zaman. Seperti yang kita ketahui mereka sangatlah susah untuk berpindah ke pekerjaan yang lebih layak karena rata-rata mereka sudah lanjut usia dan berpendidikan sekolah dasar sederajat.
Sudah saatnya pemerintah sebagai pemeran utama dalam pelestarian becak saat ini, melakukan tindakan yang bersifat memberdayakan. Seperti menjadikan bagaimana agar becak di Malioboro menjadi sesuatu yang ikonik, yang mampu memikat hati setiap pendatang yang melihatnya, karena seperti yang kita ketahui Malioboro merupakan objek wisata yang sama sekali hampir tak pernah sepi.
Misalnya menjadikan becak sebuah ikon yang khas kota Yogyakarta, dalam artian orang tidak berada di Yogyakarta kalau belum pernah naik becak, menghias becak dengan corak batik khas Yogyakarta, atau mengeluarkan slogan “Cinta Becak Cinta Yogyakarta”. Karena saat ini tidak relevan kalau kita masih tetap mempertahankan becak sebagai alat transportasi sehari-hari. Hanya dengan cara menjadikan becak ikon khas Yogyakarta lah kita bisa mengukir senyum di mulut tukang-tukang becak di zaman yang modern ini. [P]