“Selamat Hari Perpustakaan Sekolah Internasional!”
Seremonial ungkapan semacam itu biasanya lazim ditemui berseliweran di berbagai media sosial. Namun, hari Perpustakaan Sekolah Internasional belum menjadi ungkapan populer di banyak kalangan. Bukan hanya sebagai bentuk selebrasi tahunan, melainkan hari Perpustakaan Sekolah Internasional bisa menjadi ajang refleksi setiap tahunnya. Jadi mari kembali pada sejarah awal mula peringatan hari Perpustakaan Sekolah Internasional dan mengapa peringatan ini menjadi penting untuk ajang refleksi.
International School Library Day jatuh pada tanggal 18 Oktober setiap tahunnya. Mengutip dari laman perpusnas.go.id bahwa pada tanggal 18 Oktober 1999 untuk kali pertama hari Perpustakaan Sekolah Internasional diselenggarakan. Hari peringatan tersebut dicanangkan oleh Presiden International Association of School Librarianship (IASL), Dr. Blanche Woolls dan kemudian kembali di tegaskan oleh Peter Genco selaku presiden IASL pada 2005.
Menurut Wulandari (2012) perpustakaan memiliki peran penting bagi generasi muda sebagai penanaman akan pemahaman fungsi perpustakaan sebagai sarana belajar sepanjang masa hidup yang perlu dipupuk sejak di usia sekolah, sebab pada masa-masa emas inilah karakter dan kepribadian anak terbentuk.
Hal ini membuat perlu dibiasakannya buku dijadikan sebagai rujukan pengetahuan dan infromasi yang akan dipilih pertama kali oleh anak-anak untuk memecahkan permasalahan yang akan dihadapinya kelak. Selain itu, hal tersebut sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 4 UU Nomor 43 tahun 2007 “Perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan bangsa.”
Menurut Rustanti (2021) di tahun 2017 World Educational Ranking yang diterbitkan oleh Organization for Economic Co-Operation Development (OECD) bahwa Indonesia ada di peringkat ke 57 dari 65 negara dari segi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan. Salah satu penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah rendahnya minat membaca dikalangan pelajar. Alasan mengapa itu bisa terjadi pasti mengilhami pertanyaan baru, dan hal tersebut bisa dirumuskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan generasi pelajar di Indonesia mempunyai minat membaca yang rendah ialah kurangnya fasilitas yang memadai terutama perpustakaan yang menjadi sumber pengetahuan dan sumber bacaan di lingkungan sekolah.
Data-data yang bersumber dari LAKIP Perpusnas 2016 bahwa ada sekitar 63,78% Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) memiliki perpustakaan sekolah dengan tingkat ketersediaan 57%. Sedangkan untuk tingkatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTS) memiliki tingkat ketersediaan perpustakaan sebesar 21%. Sedangkan pada tingkatan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah (MA) memiliki tingkat ketersediaan perpustakaan 19% (Kemdikbud, 2019).
Meninjau dari data tersebut, sangat ironi bukan? Mari kemudian kita menilik Undang-Undang (UU) Nomor 43 tahun 2007 Pasal 23 yang menyebutkan bahwa: “Setiap sekolah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.”
Dari UU tersebut telah disebutkan dengan jelas bahwa setiap sekolah wajib menyelenggarakan perpustakaan sesuai standar nasional yang telah ditetapkan. Namun fakta yang ada dengan melihat dari data tersebut bukanlah ironi, melainkan data-data tersebut menunjukkan bahwa pengadaan perpustakaan sekolah memiliki ketersediaan yang belum paripurna, apalagi perpustakaan sekolah yang memenuhi standar nasional.
Penulis mengasosiasikan perpustakaan sebagai pelabuhan ilmu pengetahuan. Jika pelabuhan tersebut jumlahnya tidak merata (ataupun jika ada, tetapi semrawut secara harfiah) tata kelola dan koleksinya tidak diberdayakan bisa dikatakan bahwa daya tarik dari pelabuhan ilmu pengetahuan sangat memprihatinkan. Lantas kemudian menjadi masuk akal jika para pelajar menarik diri dari dunia membaca buku dan beralih pada hal lain yang lebih menarik perhatiannya.
Selain itu dari pengalaman penulis, jika meninjau dari segi kecintaan membaca, banyak dari kita masih melanggengkan stigma bahwa membaca buku adalah sesuatu yang memberatkan dan membosankan. Tidak jadi persoalan apakah itu sebentuk bacaan fiksi maupun non fiksi. Label membosankan sudah terlebih dulu melekat erat. Belum juga mengenai individu yang senang membaca diberikan label sebagai kutu buku dan terlalu kaku. Hal tersebut tidak berhenti disitu saja, melainkan ada persoalan mengenai pelabelan yang tidak diperlukan seperti mengkategorikan dan saling meremehkan bacaan antara para pecinta fiksi dan non fiksi, istilah ini disebut dengan book shaming.
Perlu kiranya kita bersama-sama untuk merefleksikan diri dan kembali fokus membangun kebiasaan membaca buku dan memberdayakan perpustakaan. Tidak menjadi perkara apakah itu membaca fiksi ataupun non fiksi ketika sampai di perpustakaan. Kembalilah fokus untuk meningkatkan jumlah para pecinta membaca buku, bukan memperkarakan buku apa yang kita baca. Jika membuat pengandaian bahwa jikalau kita sebagai sesama pecinta membaca buku saling todong, tuduh dan meremehkan bahwa membaca fiksi derajatnya lebih rendah daripada membaca non fiksi, perkara internal ini sudah pasti menjadi lingkaran beracun yang tidak akan pernah tuntas.
Mari kembali berkaca bahwa kita sama-sama memiliki persoalan serius yang sama yaitu jika dibentuk dalam sebuah rumusan masalah adalah “bagaimana cara membuat dan menjadikan membaca buku menjadi kegiatan yang menyenangkan dalam keseharian? dan bagaimana memberdayakan perpustakaan sesuai standar nasional sehingga menarik minat membaca?”
Hal tersebut tentu tidak mudah, dengan situasi pandemi saat ini dan dengan terbatasnya akses ke perpustakaan sekolah yang ada maka jalan lain bisa dipilih. Dimulai dari stakeholder terkait bisa membuat pojok baca yang bisa diakses diluar lingkungan sekolah, bisa membuat e-pustaka sekolah yang bisa diakses pelajar dari rumah. Tidak menutup kemungkinan bahwa semua akan terwujud jika semua pihak saling bekerja sama untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. Namun, jika hanya sebentuk tulisan ini sebagai pengharapan saja, yaa.. …. tentunyaakan menjadi angan-angan belaka entah sampai kapan nanti.
Jadi, mari tetap saling bertoleransi. Membaca buku apapun yang paling diutamakan adalah merasa senang, sedangkan tujuan dari membaca buku dan genre buku yang dibaca, itu adalah preferensi pribadi dan menyoal minat. Dari pemaparan diatas kita bisa tahu bahwa persoalan universal kita adalah memberdayakan perpustakaan sekolah untuk menjadikan membaca buku sebagai kegiatan yang menyenangkan bagi banyak pihak atau bahkan menjadi kebiasaan serta santapan sehari-hari dan bukan lagi perkara apa yang dibaca.
Seandainya kita semua bisa saling bergandengan tangan membentuk sebuah gerakan, mari membaca buku dan mengusahakannya pada orang-orang terdekat untuk menemukan bacaan apa yang mereka suka dan mendukung hal tersebut tanpa ada pelabelan apapun dan tanpa memperkarakan book shaming. Penulis meyakini bahwa nantinya membaca buku akan menjadi sebentuk hal pembiasaan yang menyenangkan dan hal-hal lain yang terkait membaca akan turut tumbuh subur setelah membaca menjadi santapan sehari-hari, termasuk pemberdayaan perpustakaan.
Penulis : Lailatul Nur Aini dan Triana Wiji Astuti
Editor : Zukhruf Kalyana Mukti
Referensi:
Kemdikbud. (2019). Indeks Aktivitas Literasi Membaca. http://repositori.kemdikbud.go.id/13033/1/Puslitjakdikbud_Indeks%20Aktivitas%20Literasi%20Membaca%2034%20Provinsi. diakses pada 28 Oktober.
Perpusnas. Hari Penting. https://www.perpusnas.go.id/directory.php?lang=id&id=Hari%20Penting. diakses pada 17 Oktober.
Peraturan BPK. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39968/uu-no-43-tahun-2007. diakses pada 28 Oktober.
Rustanti. (2021) Wajah Perpustakaan Sekolah di Indonesia. https://www.kompasiana.com/dwirustanti/5ffaec948ede481f6c7464e6/wajah-perpustakaan-sekolah-di-indonesia. dikases pada 17 Oktober.
Wulandari. (2019). Sinergi Perpustakaan Umum Dengan Perpustakaan Sekolah: Sebuah Wacana Wujudkan Siswa Melek Informasi. https://www.perpusnas.go.id/magazine-detail.php?lang=en&id=8174. diakses pada 28 Oktober.