Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home MIMBAR

Refleksi Hari Perempuan dalam Menggapai Kesetaraan

by Kontributor
26 Maret 2020
6 min read
Refleksi Hari Perempuan dalam Menggapai Kesetaraan

Ilustrasi: Ade Tegar I.

Oleh Siva Ramadina, Mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Angkatan 2018.

Secara sekelebat mata, jenis kelamin dan gender sering dipandang sebagai sesuatu yang identik. Namun sebenarnya, dua hal tersebut sangat jelas perbedaannya. Bila jenis kelamin adalah perbedaan bentuk dan fungsi biologis antara laki-laki dan perempuan, gender adalah pembagian peran kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan, yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai kebiasaan atau sering disebut dengan konstruksi sosial.

Konstruksi sosial dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat pada sebagian besar pandangan masyarakat. Seperti pendapat yang menyatakan bahwa seorang laki-laki itu harus terlihat atau bersikap kuat, tegas, maskulin, mempunyai jiwa pemimpin, dan lainnya. Sedangkan perempuan dipandang harus bisa memasak, berdandan, dan melayani seperti yang biasa orang Jawa sebut dengan manak, macak, masak.

Hal semacam itu tentu menjadi kontroversi bagi sebagian kalangan perempuan, sehingga kemudian munculah paham Feminisme. Feminisme adalah sebuah gerakan yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan. Memang, perempuan telah diberikan kebebasan yang sudah diperjuangkan lebih dahulu oleh R.A Kartini dan para pejuang perempuan lainnya. Namun, ternyata sebagian besar masyarakat saat ini pun masih memiliki penilaian bahwa perempuan berada pada tingkat di bawah level laki-laki.

Contoh yang dapat kita lihat bersama adalah masih adanya sebagian masyarakat yang berpikir bahwa perempuan yang mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak memiliki manfaat. Sebab bagi mereka, pada akhirnya perempuan hanya akan menjadi ibu rumah tangga saja. Padahal, untuk menjadi seorang ibu rumah tangga pun, kaum perempuan justru harus mempunyai bekal ilmu yang cukup luas, salah satunya bisa ditempuh dengan mengenyam pendidikan melalui perguruan tinggi.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi tentu bertolak belakang dengan fakta bahwa seorang ibu harus mampu menjadi madrasah pertama bagi anaknya.

Salah satu contoh lain yang memperlihatkan bahwa perempuan masih dipandang sebelah mata adalah saat seorang perempuan berjalan melewati kerumunan laki-laki. Biasanya, kerumunan tersebut akan “memanggil” perempuan itu dengan tujuan yang mungkin menurut mereka wajar atau “hanya” dimaksudkan untuk menggoda. Namun, sebagian perempuan menilai bahwa tindakan demikian bukanlah sesuatu yang wajar dan memunculkan perasaan tidak aman.

Perlakuan seperti itu dinamakan cat-calling. Ternyata, banyak awam belum mengetahui bahwa cat-calling termasuk dalam pelecehan seksual secara verbal. Apalagi jika perempuan hanya diam dan memaklumi tindakan tadi sebagai sesuatu hal yang “wajar” atau dengan kata lain menganggap hal tersebut sebagai hiburan belaka. Padahal dari titik pemakluman itulah, menurut penulis, dapat muncul pelecehan seksual lainnya yang dilakukan secara non verbal seperti dengan menyentuh fisik.

Juga secara psikologis, wanita yang mengalami pelecehan seksual baik secara verbal maupun non verbal, spontan akan diam sesaat setelah mengalami peristiwa tersebut akibat rasa syok. Perbuatan itu dapat menyebabkan trauma yang mendalam bagi perempuan dan bahkan bisa menganggu psikisnya. Parahnya, di dalam konstruksi sosial masyarakat kita, secara sadar atau tidak, terbentuk sebuah pola pikir yang cenderung menyalahkan perempuan sebagai pihak yang selalu “mengundang” terjadinya tindak perbuatan tersebut atau biasa disebut victim blaming. Bayangkan, sudah menjadi korban, disalahkan pula. Apa kabar si pelaku yaitu laki-laki?

Jika pola pikir masyarakat terus seperti ini, tentu akan dapat menggiring pada pemahaman bahwa perempuan hanya eksis sebagai objek seksual saja. Maka, Feminisme mulai digencarkan oleh sebagian besar perempuan untuk menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan untuk mempunyai hak yang sama sebagai manusia seutuhnya.

Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Momentum ini menjadi harapan bagi kita semua sebagai perempuan maupun laki-laki untuk saling menguatkan. Bahwa perempuan berhak mendapatkan hak-haknya sebagai manusia pada umumnya yang setara dengan laki-laki.

Menjadi sebuah kekhawatiran dan sebaiknya perlu untuk kita berbenah diri ketika melihat kondisi saat ini, bahwa sebagian dari kita, sesama perempuan, yang seharusnya saling melindungi dan menguatkan, justru saling menyalahkan dan menjatuhkan. Contohnya, saat ada yang berani speak up terkait pelecehan seksual yang dialaminya dengan tujuan untuk mencari perlindungan oleh sesama perempuan, yang ia dapat justru kebalikannya. Kita justru seolah berlomba-lomba untuk menilai dan memberikan komentar jahat pada para penyintas kasus pelecehan seksual tersebut.

Melihat kasus semacam ini, empati harus mulai dibangun dari dalam diri kita. Merasakan betapa sedihnya penyintas mendapatkan pelecehan seksual yang sama sekali tidak diinginkannya. Ditambah pula dengan penilaian dari sesama perempuan yang tak tahu menahu bagaimana latar belakang kehidupan korban. Menjadi refleksi bahwa penyintas adalah perempuan yang sama seperti kita. Jika kita tidak mau berempati dan saling menguatkan sesama perempuan, lantas siapa yang akan memperjuangkan hak-hak perempuan lainnya bila tidak dimulai dari diri kita sendiri?

Dalam diri seorang perempuan, perasaan menjadi salah satu hal yang mendominasi. Hal alamiah jika kita sebagai perempuan merasa tersaingi oleh perempuan lain yang menjadi pusat perhatian melebihi diri kita dari berbagai sisi. Namun, ini dapat kita jadikan sebagai hal yang positif untuk saling berbenah tanpa harus membandingkan diri dengan perempuan lain karena setiap individu memiliki keunikan dan latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Daripada sibuk menilai dan menjatuhkan perempuan lain yang sama sekali tidak ada manfaat kebaikan untuk kita, lebih baik kita menyalurkan energi positif ataupun kekuatan dari dalam diri kita untuk sama-sama menguatkan perempuan di luar sana yang mungkin sangat membutuhkan uluran semangat kita sebagai sesama perempuan.

Jadi, sudah sampai manakah perjuangan kalian sebagai perempuan untuk ikut berperan menguatkan dan turut berkontribusi dalam memenuhi hak-hak perempuan sebagai sesama manusia di bumi ini?

Mari kita menjadi perempuan yang kuat. Perempuan kuat adalah mereka yang mampu menguatkan perempuan lainnya.

Editor: Handrianus P. Puor

Tags: FEMINISMEIWDKESETARAANPEREMPUAN
ShareTweetSendShare

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA