Pada era perkembangan teknologi dan informasi saat ini, secara nasional dan internasional begitu gencar membicarakan terkait literasi. Sebagai awal pembahasan, Literasi dalam arti sempit adalah kemampuan membaca dan menulis. Sebenarnya ada beragam bentuk literasi, baik literasi digital, literasi perpustakaan, literasi hukum, dan lain sebagainya.
Secara definisi, saat ini pun literasi mengalami disrupsi arti. Kegiatan – kegiatan literasi dominan disalah artikan sebagai aktivitas yang sekadar membaca dan menulis. Dalam sekolah formal pun demikian, aktivitas – aktivitas literasi masih lebih sedikit, penerapan prioritas membaca masih pada buku – buku yang terkait dengan materi pembelajaran.
Sebagai latar belakang masalah, dalam kegiatan membaca begitu penting adalah kemampuan untuk mengerti apa yang sedang dibaca dan apa yang sedang serta ingin diketahui dalam membaca text atau bacaan. Hal ini biasa disebut sebagai pemahaman akan bacaan.
Pemahaman setiap individu dapat berbeda – beda satu dengan yang lainnya. Pada proses memahami makna dari kalimat dalam buku pun demikian. Benang merah yang disematkan dalam buku akan diperoleh pembaca dengan baik, apabila pembaca mengerti makna atau arti dalam kalimat – kalimat yang ia baca.
Pada bagian ini, melakukan evaluasi diperlukan agar dapat memangkas sedikit demi sedikit masalah literasi, baik secara umum maupun secara khusus pada sekolah formal.
Penerapan Kewajiban Membaca Buku Novel Pada Sekolah Formal
Penerapan ini dirasa penting. Karena proses penumbuhan minat untuk membaca perlu digagas dari dasar. Membaca adalah suatu proses memasukan kata – kata dan menulis adalah bagian untuk mengikat makna dari kata – kata yang telah dibaca. Mengapa novel menjadi pilihan?
Saya biasa menyebutnya sebagai kemampuan untuk berimajinasi secara terstruktur. Dengan membaca novel yang dialurkan secara runut oleh penulis, dapat membantu mengasah kemampuan berimajinasi dan pembaca dituntut untuk memahami alur yang dikisahkan oleh penulis melalui kata – kata atau kalimat.
Hakim Agung dan juga salah seorang seorang Dosen, Alm. Artidjo Alkostar pernah menyampaikan dalam satu sesi diskusi bersama Najwa Shihab. Pak Artidjo selalu menyarankan kepada mahasiswanya untuk membaca novel dan membaca puisi.
Menurut beliau hukum itu adalah sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan dari yang namanya
keadilan. Keadilan perlu dibaca dengan hati. Beliau lebih lanjut
menyampaikan bahwa, untuk mempertajam rasa keadilan dan mengasah kepekaan batin, salah satunya bisa dilakukan adalah
dengan membaca novel dan membaca puisi.
Dilakukan karena membaca harus disarikan dalam kegiatan yang terstruktur dan menyenangkan sebab masalah literasi, salah satunya adalah setiap orang mengetahui bahwa ia membaca namun tidak mengetahui makna atau arti apa yang ia baca.
Penerapan Membaca Secara Ngemil
Membaca adalah kegiatan yang menyenangkan bila itu tidak dijadikan beban yang harus dilakukan. Dalam menumbuhkan daya baca pun demikian, menurut Pandji Pragiwaksono bacalah buku – buku yang kamu butuhkan dan kamu sukai, dari sesuatu hal yang kita butuhkan, minat dan motivasi untuk membaca akan terbangun.
Pada buku yang ditulis oleh Hernowo Hasim, ada istilah yang begitu menarik tentang membaca secara ngemil. Menurut Hernowo membacalah secara ngemil untuk meningkatkan kualitas pikiran dan memudahkan produksi gagasan sebab dalam membangun kebiasaan membaca tentunya membutuhkan proses.
Menerapkan membaca secara ngemil merupakan melakukan aktivitas membaca yang mana caranya adalah dengan memasukkan materi mengenai apa yang dibaca menuju pikiran secara perlahan – lahan dan memasukannya secara sedikit-sedikit dahulu, dengan hal tersebut pembaca bisa merasakan bacaan yang sedang dibaca secara mendalam.
Ngemil berarti memakan suatu makanan secara sedikit demi sedikit dan perlahan – lahan, dan ngemil bisa diasumsikan sebagai aktivitas membaca buku.
Hal ini yang perlu dan harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari, pembudayaan terhadap literasi harus benar – benar dimasifkan sebagai gerakan kolektif. Perkembangan digitalisasi menjadi satu sebab mengapa literasi menjadi penting. Terjangan informasi melalui linimasa sosial media sudah menjelma badai dan membutuhkan tameng tangguh untuk membendungnya.
Literasi menjadi salah satu sub bagian penting dalam membendung terjangan berbagai informasi media.
Namun terlebih dahulu, coba kita lihat rapor aktivitas literasi Indonesia saat ini. Dikutip dari databoks.katadata.co.id, menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyusun Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca), yang hasilnya menunjukkan data bahwa rata – rata Indeks Alibaca secara nasional berada pada titik 37,32%, dan ini masih tergolong rendah (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/27/tingkat-literasi-indonesia- masih-rendah). Secara pendataan nasional, literasi masih begitu menjadi masalah di negeri ini (Baca: Indonesia). Bahkan menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya memiliki persentase 0,0001%, yang mana artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu yang rajin membaca.
Pada intinya membaca merupakan
sebuah aktivitas berproses oleh pembaca dengan tujuan mendapatkan
sebuah pesan yang
penulis sampaikan melalui
kata – kata dalam buku yang ditulisnya. Dalam buku Flow
di Era Social Media yang ditulis
oleh Hernowo Hasim. Dalam proses membaca ada banyak kegiatan kompleks yang juga
memeras pikiran, antara lain mengingat, menghubung – hubungkan, mencerna,
menyimpulkan. Ditambahkan pula bahwa proses membaca harus diakumulasikan dengan
proses menulis.
Proses menulis menjadi bagian untuk mengikat makna, dengan merajut kembali benang – benang yang tidak teratur dari hasil bacaan agar dapat terstruktur dengan rapi melalui narasi yang baik dengan cara menuliskannya kembali.
Dalam lingkup perguruan tinggi pun demikian, salah satunya ada proses penyusunan skripsi. Mahasiswa tingkat akhir diberi tugas membaca sebanyak mungkin jurnal untuk disarikan menjadi judul penelitian skripsi. Pada proses ini dominan yang lebih ditekankan adalah hal kuantitas berapa banyak jurnal yang telah dibaca, dan secara kualitas hasil bacaan tidak spesifik dipertimbangkan. Proses memahami apa yang telah dibaca ini yang menjadi masalah. Berapapun banyaknya jurnal yang telah dibaca, bila pembaca belum paham makna dari apa yang telah dibaca, itu akan menjadi masalah.
Akibat dari hal itu, menjadi rentannya plagiasi dilakukan oleh mahasiswa, minimnya ide baru yang dilahirkan dari penelitian, isu – isu plagiarism yangsaat ini tengah hangat naik ke permukaan publik. Terkait ini nanti kita bahas pada bagian selanjutnya.
Literasi menjadi sangat penting, literasi yang tidak hanya membaca dan menulis. Dalam sekolah formal literasi dimaknai sebatas kecakapan membaca dan menulis, padahal realitasnya literasi juga berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan jaman.
Literasi perlu dimaknai secara luas dan perlu direlevansikan pada perkembangan jaman. Proses ini pun sejalan dengan Gerakan Literasi Nasional yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bayang – bayang kedepan terkait kemajuan bangsa (Baca: Indonesia) sedini mungkin harus dipersiapkan, pondasi – pondasi kokoh itu harus kembangkan. Seorang literat harus dilahirkan tidak hanya dari ruang akademik namun juga non akademik.
Penulis : Neldi Darmian L, Mahasiswa Akuntansi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Editor : Lailatul Nur Aini