Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home OPINI

Pola Asuh Dalam Hidup Macam Apa Yang Kita Perjuangkan?

by Kontributor
18 November 2022
6 min read
Pola Asuh Dalam Hidup Macam Apa Yang Kita Perjuangkan?

(Gambar: Lpm Pendapa)

Tak bisa dipungkiri bahwa di lingkungan sekitar masih banyak dijumpai kasus kekerasan, baik kekerasan orang tua terhadap anak atau kekerasan yang diciptakan sendiri oleh para remaja. Kota Yogyakarta misalnya, dalam beberapa tahun terakhir masih marak kasus klitih yang diinisiasi oleh para remaja dan tindakan mereka sempat menggegerkan publik. Kasus yang diinisiasi oleh para remaja ini tidak hanya terjadi di Yogyakarta, melainkan  juga dapat terjadi di berbagai kota seperti Bekasi, Jakarta, dan Makassar.

United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) tahun 2016 memaparkan data bahwa kekerasan pada sesama remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen. Selanjutnya, Panjaitan (2018) meneliti tentang peran tokoh masyarakat dalam mengatasi kenakalan remaja di Desa Buntu Bayu Kecamatan Hatonduhan Kabupaten Simalungun yang juga menunjukan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan data bahwa tahun 2013 angka kenakalan remaja di Indonesia mencapai 6.325 kasus, sedangkan pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 7.007 kasus dan pada tahun 2015 mencapai 7.762 kasus. Kenaikan kasus kenakalan remaja semacam itu bukan tanpa sebab, tentunya ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Pola asuh menjadi salah satu faktor penentunya.

Metode pola asuh orang tua yang diberlakukan orang tua terhadap anak, masih belum dijalankan secara optimal. Orang tua cenderung memarahi anak bahkan dibeberapa kasus orang tua sampai memukuli anaknya sendiri. Perilaku semacam ini selain menimbulkan luka fisik juga menimbulkan luka batin bagi psikis anak sehingga di kemudian hari akan menimbulkan efek yang buruk seperti anak akan membangkang dan tidak menghargai orang lain. Mereka justru terlibat dalam komunitas-komunitas yang justru lebih banyak menjerumuskan mereka ke dalam jurang pergaulan negatif.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefiniskan pola sebagai cara kerja atau bentuk, sedangkan asuh adalah bimbing. Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa pola asuh adalah cara kerja orang tua dalam membimbing dan mendidik anak. Lebih luas lagi dalam penilitian Diana Baumrind pada 1971 ia mengemukakan ada beberapa pola asuh yang di tunjukan oleh orang tua yakni pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh membiarkan dan pola asuh mengabaikan.

Pola asuh tidak terlepas dengan pembahasan faktor ekonomi karena biar bagaimana pun faktor ekonomi turut mengambil peran yang signifikan. Sejauh pengamatan saya keluarga dengan ekonomi menengah ke atas mempunyai anak yang lebih terdidik, baik secara perilaku maupun pemikiran; sedangkan keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah justru mendapatkan hal yang sebaliknya.

Orang tua dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah cenderung untuk menerapkan pola asuh otoriter, hal ini disebabkan oleh  orang tua mempunyai ekspektasi tertentu terhadap anak. Namun, orang tua gagal dalam mengarahkan anak untuk mencapai tujuan tersebut. Kegagalan ini disebabkan karena orang tua tidak membangun kesepakatan dengan anak sehingga anak hanya dijadikan bahan ’percobaan’ semata guna memenuhi keinginan orang tua. Pola asuh semacam ini tidak mengindahkan dialog antara anak dan orang tua, bahkan orang tua cenderung mendesak anak untuk mengikuti kemauannya.

Dalam sejumlah kasus yang saya temui, orang tua secara berlebihan memarahi anak dengan keras, tentunya hal ini dapat berakibat fatal terhadap anak. Hal tersebut, tentu saja memberikan efek buruk bagi anak seperti, rasa cemas, takut, tidak bahagia, dan sering membandingkan dirinya dengan orang lain.

Permasalahan yang dihadapi oleh orang tua kelas bawah berbanding terbalik dengan orang tua yang memiliki tingkat pendapatan menengah ke atas. Anak yang tumbuh di keluarga seperti ini memiliki peluang yang lebih besar untuk mengembangkan potensinya. Semua ini disebabkan oleh beberapa orang tua di atas yang menerapkan pola asuh demokratis.

Orang tua dengan ekonomi menengah ke atas akan selalu berdialog dengan anak. Hal ini adalah kunci utama dalam pola asuh demokratis. Dialog bukan semata-mata di lakukan tanpa tujuan dari orang tua. Metode ini sengaja diambil karena orang tua ingin mengajarkan anak akan kemandirian dan mempertanggungjawabkan segala pilihan yang akan ia ambil, namun bukan berarti orang tua sepenuhnya melepas kontrol dari sang anak. Orang tua tetap masih menerapkan batas-batas dan kendali terhadap anak, ada semacam aturan tertentu yang mengharuskan anak untuk tidak melakukannya, tetapi orang tua juga turut secara aktif menjelaskan alasan mengapa anak harus mengikuti aturan tersebut.

Sependek yang kita lihat, orang-orang yang mempunyai ekonomi kelas menengah ke atas selalu mendapati dirinya dalam posisi yang lebih dalam melakukan pola asuh terhadap anak. Orang-orang ini diuntungkan karena mereka mempunyai kebebasan dalam memilih. Mereka dengan gampangnya memilih untuk tinggal di lingkungan seperti apa. Mereka juga pastinya akan memasukan anaknya ke sekolah terbaik yang sudah pasti merogoh kocek yang tidak sedikit dan sudah barang pasti jika sekolah itu mempunyai fasilitas yang mewah. Kebebasan dalam memilih ini bukan secara alamiah hadir, namun bersumber dari banyaknya potensi dan dukungan ekonomi yang mereka punya.

Dalam fakta kehidupan yang serba menghimpit ini masyarakat dengan ekonomi kelas menegah ke bawah masih harus memikirkan pola asuh mengenai anak mereka, satu pertanyaan yang akan muncul, apakah masih sempat mereka memikirkan hal semacam ini atau harus berurusan dengan sepiring nasi dalam daftar harian? Dalam memperjuangkan hidup keluarganya  saja masih sangat susah. Sungguh sakit kepala jika kita memikirkan hal ini.

Namun begitulah kehidupan kadang berjalan lambat seperti penyu yang hanyut oleh udara malam di pantai namun kadang cepat seperti udara. Satu hal yang pasti bahwa kita sebagai manusia dituntut untuk memelihara diri dan terus berjuang dengan apa yang kita punya.

Penulis: Fahmi Anwar
Editor: Rizqika Noor

Referensi

PANJAITAN, SUMIATI (2018) PERAN TOKOH MASYARAKAT DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA DI DESA BUNTU BAYU KECAMATAN HATONDUHAN KABUPATEN SIMALUNGUN. Undergraduate thesis, UNIMED.

fkkmk.ugm.ac.id. (2018, 14 Maret). Kekerasan Remaja Indonesia Mencapai 50 Persen. Diakses pada 2 November 2022, dari https://fkkmk.ugm.ac.id/kekerasan-remaja-indonesia-mencapai-50-persen/

Tags: hidupPerjuangkanPola Asuh
ShareTweetSendShare

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA