“Emang kamu ngapain mas keluar jam segitu?” Tanya salah satu narasumber diskusi ketika merespon cerita teman saya mengenai fenomena klitih di kota Istimewa ini. Pertanyaan itu sontak mengundang tawa seisi ruangan. Kecuali saya.
“Selera humormu jelek ya,” ucap suara imajiner dalam kepala saya.
“Bukan gitu,” timpal saya.
“Terus?”
Begini, menurut saya, pertanyaan itu menyiratkan kekeliruan dalam memahami fenomena kenakalan remaja tersebut (Saya ndak mau pakai istilah klitih lagi, sebab kata beberapa pihak dalam diskusi itu, penggunaan term-nya jadi kurang tepat). Mengapa? Mari kita bahas.
Klitih, seperti yang berulang kali disinggung oleh media dan beberapa narasumber di diskusi itu, awalnya bukan lah hal yang negatif. Klitih dalam arti yang sebenarnya, adalah ajakan jalan-jalan untuk menghabiskan waktu luang. Sumber lain menyatakan klitih berarti jalan-jalan santai ke Pasar Klitikan untuk beli barang-barang bekas di sana. Namun akhirnya makna klitih berubah, berkat maraknya tindak kenakalan remaja pada beberapa tahun ke belakang di kota –Istimewa– ini.
Kembali ke pertanyaan di atas, apa yang aneh? Tentu saja pertanyaan itu sendiri.
Pulang jam berapapun itu hak personal tiap orang. Lagipula, kepentingannya juga saling berbeda-beda kan. Pada waktu-waktu tersebut ada yang pulang kerja, ada yang baru berangkat kerja, ada yang baru pulang dari kosan temannya (ngerjain tugas ehehe), ada juga yang memang baru selesai diskusi, ikut konser, atau apapun itu. Dan tidak masalah, sebab tiap orang punya kepentingannya masing-masing. Hal tersebut, bukan lah hal yang melanggar hukum. Kalau norma, mungkin, itupun biasanya hanya berlaku ke perempuan saja. Kalau ke laki-laki? Engga. Memang partriarki sekali ya.
Jadi tidak bisa serta merta mengeluarkan argumen kaku seperti “ndak perlu lah keluar jam segitu. Lebih baik tidur,” kan kepentingannya beda-beda. Ra Mashook dong!
“Berarti salah dia dong kalau dia kena klitih eh maksudnya kenakalan remaja. Pulangnya jam segitu sih!” suara imajiner saya lagi-lagi menimpali.
Ya tidak seperti itu, kenakalan remaja itu bukan kondisi yang ‘ideal’. Alias, hal seperti itu seharusnya tidak terjadi, sebab sudah ada mekanisme hukum yang mengatur agar orang-orang tidak saling bertindak merugikan satu sama lain. Sehingga kenakalan yang merugikan tersebut, ya seharusnya tidak ada.
Saya jadi teringat satu hal yang punya letak kesamaan dengan “perdebatan” di atas. Yaitu, mengenai tindak kekerasan seksual.
Dimana letak kesamaannya?
Begini sobatku, pertanyaan salah satu narasumber itu, kurang lebih bisa berarti seperti ini bila di-alih bahasakan ke korban tindak kekerasan seksual.
“Emang kamu ngapain pakai baju minim begitu?”
Suara imajiner saya menimpali kembali, “salahnya sendiri pakai baju kurang bahan begitu, jadi kena pelecehan seksual kan!”
Haduh. Mau keluar malam kek, pakai baju ketat kek, kurang bahan kek, bukan lah tindak kejahatan. Dua hal itu tidak melanggar hukum positif (kalau melanggar norma, mungkin iya, tapi norma yang seperti apa dulu?).
Namun bila suatu individu sudah melakukan kenakalan remaja dengan menyerang orang di jalan, serta melakukan tindak kekerasan seksual yang jenis-jenisnya bisa dilihat di sini, itu baru melanggar hukum. Mengerti?
Jadi, mengapa orang justru disuruh untuk terbiasa dengan keadaan yang “tidak normal” itu, alih-alih mengupayakan keadaan yang normal dan ideal?
Satu tahun yang lalu, saya hampir mengalami tindak kejahatan remaja di kota Istimewa ini. Tebak, pukul berapa saya mengalami tindakan tersebut?
Menjelang pukul lima pagi. Waktu yang sebenarnya tidak ideal untuk melakukan kejahatan karena keadaan jalan sudah tidak sepi-sepi amat, hampir terang juga. Tapi toh saya mengalaminya juga.
“Saya mau menjemput bapak saya di Jombor,” jawab saya pada pertanyaan di atas (kalau si narasumber bertanya ke saya). Apakah salah?
“Lha hari gini kan ada ojek online?” suara imajiner saya mendadak sengit.
“Bapak saya ndak bisa mengoperasikan itu, makanya saya jemput. Lagian waktu itu paket internetnya juga habis,”
“Gimana sih, kan bisa diajari dulu, lagipula seharusnya bapakmu beli paket dulu sebelum berangkat!”
Lihat? Bagaimana perdebatan terjadi justru ke arah yang tidak substansial sama sekali. Alih-alih berdebat mengenai pola pendidikan seperti apakah yang seharusnya diterapkan di tiap keluarga atau bagaimana peran instansi pendidikan untuk menangkal bibit perbuatan keji tersebut, saya dan kawan imajiner saya justru berdebat mengenai paket internet milik bapak saya. Hal yang sia-sia sekali.
Pokok yang perlu saya tekankan di tulisan ini adalah, jam berapapun orang keluar dan pulang dari tempat tinggalnya masing-masing, ia berhak untuk merasa aman. Sama halnya dengan jenis pakaian apapun yang orang lain kenakan, orang tersebut berhak untuk merasa aman. Sebab dua hal di atas sama sekali tidak melanggar hukum apapun. Karena, tiap-tiap personal manusia memiliki alasan yang beragam untuk melakukan itu.
Saya jadi ingat anekdot feminis di salah satu tulisan Prof. Ariel Heryanto. Saya pikir anekdot itu relevan dengan dua permasalahan di atas.
Konon, begitu isi anekdot itu, suatu hari bumi menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat untuk melakukan studi banding ke bumi. Tentu saja hal ini disambut dengan suka cita. Sesampainya di bumi, mereka diajak berkeliling di pusat-pusat peradaban manusia. Di akhir kunjungan, diadakan upacara perpisahan. Para tamu (yang kesemuanya Alien itu) diminta memberikan kesan-kesannya.
“Tapi, ada yang ganjil tentang kehidupan di bumi ini,” kata si tamu. “Apa? Katakan, apa yang ganjil,” teriak masyarakat bumi hampir bersamaan.
“Yang aneh,” kata sang tamu, “Setiap kali kami berjalan-jalan di pusat kota-kota metropolitan di malam hari, yang kelihatan hanya pria. Baik di Jakarta, New Delhi, Tokyo ataupun New York.” Para hadirin menjadi lega. “Oh itu,” seorang petinggi dari bumi menjelaskan. “Itu lumrah. Maklum, kalau malam pusat-pusat kota kurang aman. Demi alasan keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah.”
Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka. Sampai-sampai si tuan rumah bertanya “Apakah penjelasan tadi kurang jelas?” Salah seorang tamu itu menjawab, “Terus terang kami masih tak paham. Kalau di planet kami ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu, bukan korbannya.”
Penulis: Ade Tegar Irsandy
Editor: Widiya Saputri