Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home OPINI

Mati kelaparan atau Covid?

by Cris A Jeni Putri
24 Juli 2021
5 min read
Mati kelaparan atau Covid?

sumber: vsco.co

Pandemi Covid-19 masih menjadi musuh terbesar yang tengah dihadapi oleh hampir seluruh dunia. Perjuang, pengorbanan dan air mata pun masih terus mengalir demi mempertahakan kehidupan bersama,  termasuk di negara Indonesia. Di lansir dari data pandemi Covid-19 pada Wikipedia, negara Indonesia sampai dengan Kamis (22/07/2020) memiliki kasus positif Covid-19 mencapai 2,98 juta jiwa dengan angaka kematian sebanyak 77, 583 jiwa dan sembuh sebanyak 2,36 juta jiwa.

Pilihan–pilihan tentang kematian pun saat ini sudah harus dipikirkan, mau mati kelaparan atau mati terserang Covid, yang harus segera ditentukan. Meskipun terdengar kasar, hal ini bukan tanpa alasan. Semenjak datangnya pandemi, virus sudah menjadi masalah yang harus kita hadapi. Ditambah kebijakan–kebijakan serta aturan yang minim solusi dan tak memahami situasi seperti menjadi jeruji besi bagi rumah sendiri. Mulai dari penamaan, penanganan dan berbagai kebijakan yang sering berganti. Seringkali hal ini memunculkan berbagai kontroversi hingga terdapat kasus korupsi serta kekerasan yang semakin gila dan tak berprikemanusiaan. Saat semua terasa sulit, entah sudah berapa ratusan orang yang menjadi korban kehilangan mata pencariannya karena usaha bangkrut dan di-PHK. Namun hal ini tak membuat oknum-oknum yang menjadi pelaku menahan diri dari hasrat memperkaya diri sendiri.

Lihat saja para politikus dan pejabat kita, semakin menggila dan tidak tahu arah. Mulai dari Mentri Kelautan dan Perikanan bersama Staf Khusus dan pejabat kementrian meminta cash-back dari setiap benih lobster yang diekspor untuk membeli barang–barang mewah di saat masyarakat tak tahu harus makan apa. Saat banyak orang yang berkelimpungan mencari ruang untuk berjuang mempertahankan hidup, Wali Kota Cimahi malah memperjualkan belikan izin pembanguanan rumah sakit!

Seolah belum cukup parah, ada lagi pejabat Kementrian Sosial berserta dengan mentrinya malah menodong para vendor dengan uang cash-back. Mereka meminta Rp. 10.000 dari setiap paket bantuan sosial. Paket senilai Rp. 300.000 untuk meringankan beban masyarakat  dengan tega dipotong untuk dinikmati sendiri. Belum cukup, para pemberantas korupsi pun di PHK karena dianggap tidak berkebangsaan guna memperlancar aksi.

Ntahlah, bukannya bekerjasama dan saling membantu mencari solusi, malah menjadi kesempatan untuk panggung untuk ujuk diri. Mengharapkan dihargai, tapi lupa cara menghargai. Ingin disebut sebagai manusia, tetapi lupa bertingkah layaknya seorang manusia yang memiliki perikemanusiaan. Sungguh, saya rasa ini bukan sebuah pilihan hidup yang tidak bisa dipilih. Jika kita saling menelan ego dan membantu sesama, kita pasti bisa melalui ini. Bukan hanya dengan menuntut, tetapi juga memberi solusi. Jika hanya ingin bergantung pada pemerintah dan penguasa, lalu siapa kita?

Banyak ruang kosong yang dapat kita isi dengan kerjasama seperti contoh kasus yang saya lihat terdapat banyak bantuan dari relawan, tabung oksigen dan makanan. Hal ini bisa terjadi dan kita dapatkan karena ini merupakan hasil dari nurani bangsa yang dilakukan atas kepentingan  hidup dan nyawa bersama. Tetapi, tetap saja pandemi ini menjadi ketakutan bersama dan seringkali dibumbui dengan berita–berita palsu yang semakin merjalalela hingga membuat kita berpikir harus percaya pada siapa.

Ditengah angka kematian yang semakin menjadi, masih banyak yang menggap ini adalah isu konspirasi dan kepentingan pribadi. Oh ayolah! ini tentang nyawa yang menjadi taruhan bukan ajang untuk menujukkan kekuatan dan kekuasaan untuk bertahan. Yang kuat berteriak untuk patuhi kebijakan dan yang lemah teriak kelaparan. Memang benar terdapat istilah “mau gak mau ya harus mau” untuk menekan angka Covid-19, tetapi kita juga harus mempertimbangkan bahwa tidak semua orang beruntung. Ketika DIAM MATI, bergerak pun seolah ditembak MATI. Bukan tak beralasan, semenjak ditetapkannya Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di wilayah Jawa dan Bali, banyak masyarakat yang kesulitan.

Hal ini disebabkan terlalu banyak aturan dan minim solusi yang diberikan. Ditambah kekerasan yang menjadi–jadi dewasa ini membuat masyarakat yang mencari nafkah diperlakukan layaknya sebagai penjahat penjual narkoba. Beberapa kasus yang saya lihat melalui berbagai media, banyak aparat keamanan yang melakukan tindakan kekerasan demi mengamankan, tetapi lupa menggunakan belas kasihnya sebagai seorang manusia dengan memukul dan memanfaatkan situasi sebagai ujuk kekuasaan diri.

Bahkan, kini mencari nafkah pun harus berhadapan dengan jeruji besi. Jika ada uang bisa selamat, jika tidak ada ya harus menetap. Yang bersuara pun akan hilang ditelan bumi karena dianggap pemberontak. Sungguh miris kata yang dapat saya katakan, dimana seharusnya melindungi rakyat malah menjadi musuh bagi rakyat. Mobil pemadam kebakaran yang seharusnya memadamkan api malah digunakan untuk menyemprot rakyat sendiri.

Penulis                 : Cris A Jeni Putri
Editor                    : Zukhruf Kalyana Mukti

Tags: ataucovidkelaparanmati
ShareTweetSendShare

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA