• PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home OPINI

Masih Adakah Nyala Api Kartini di Hati Milenial?

by Nurlaili
29 April 2020
7 min read
Masih Adakah Nyala Api Kartini di Hati Milenial?

Ilustrasi: Ade Tegar I.

“Habis gelap terbitlah terang.”

Itulah kata mutiara yang selalu tebersit dalam pikiran saya ketika mendengar nama R.A. Kartini. Namun sayang, kalimat itu sekarang hanya sebatas untaian kata yang selesai di ujung bibir. Karena sekarang keadaannya masih redup-redup saja.

Tanggal 21 April merupakan hari kelahiran perempuan revolusioner ini. Sosok yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan menyuarakan emansipasi bagi kaum perempuan. Dengan gagah berani melawan adat dan bahkan budaya yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Kini, hari kelahirannya diperingati sebagai hari besar nasional. Akan tetapi, peringatannya hanya sebatas seremonial yang identik dengan pakaian kebaya serta rambut yang disanggul. Apakah memang ini yang Kartini harapkan dari kita untuk meneruskan cita-cita dan mimpinya? Jauh dari itu, Kartini mengharapkan hadirnya perempuan-perempuan cerdas yang mau memperjuangkan hak-hak perempuan dan hak asasi manusia. Untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan yang hakiki.

Banyak perempuan terlelap dengan gemerlap hidup yang mereka capai saat ini. Mengenyam pendidikan yang layak, bekerja di luar rumah, bahkan terlibat dalam dunia politik sungguh melenakan. Sampai-sampai kita lupa menoleh ke luar dan tak mau tahu dengan derita serta cerita pahit yang perempuan—di luar sana—alami dalam hidupnya. Apakah semua itu bisa dikatakan bahwa perempuan sudah merdeka?

Kartini selalu ingin menjadi perempuan modern. Perempuan modern yang cerdas karena berpengetahuan dan berwawasan luas. Bukan perempuan modern yang sibuk dengan lipstik, pakaian modis, tas, dan sepatu branded. Bukan pula perempuan yang sering keluar masuk mal dan bioskop demi eksistensi. Cerdas yang dimaksud tentu saja bukan pintar mata pelajaran di sekolah lalu lulus dengan nilai memuaskan. Yang dimaksud perempuan modern yang cerdas di sini adalah ketika seorang perempuan dapat menggali potensi dirinya untuk berkontribusi dalam hal-hal sosial dan ikut serta dalam melihat permasalahan yang dihadapi kaum perempuan sekarang. Seperti kekerasan seksual, diskriminasi gender, serta stereotip yang masih dibebankan kepada kaum perempuan.

Perempuan modern yang mau tahu dan mau memahami apa yang hendak dan ingin dicapai dan diperjuangkan perempuan-perempuan sekarang. Ya, itu memang masalah individual masing-masing dalam menikmati hidup. Akan tetapi pantaskah kita berhura-hura dan bersenang-senang sendiri sedangkan di luar sana masih banyak saudara perempuan kita yang terbelakang?

Perempuan Buta Aksara Masih Memprihatinkan

Perjuangan Kartini dalam emansipasi kaum perempuan tidak lepas dari pengetahuan dan wawasan yang ia miliki. Meski jarang berbaur di dunia luar karena sejak kecil sudah dipingit, Kartini mampu menjadi perempuan yang cerdas. Dalam kesehariannya, Kartini selalu membaca dan merenungkan hasil bacaannya. Untuk mengabadikan hasil bacaan itu, ia lantas tuangkan ke dalam tulisan yang kemudian dikirim kepada kawan-kawannya melalui surat menyurat. Untuk memajukan kaum perempuan di bidang ilmu pengetahuan, menurutnya membaca menjadi satu hal yang sangat penting dilakukan kaum perempuan. Lantas apakah pengetahuan dan kecerdasan itu dapat diraih ketika masih banyak perempuan yang buta aksara?

Data yang dirilis oleh Kementerian dan Kebudayaan pada tahun 2018, menunjukkan ada 3,4 juta masyarakat Indonesia mengalami buta aksara. Laki-laki sebanyak 1.157.703 jiwa dan perempuan sebanyak 2.250.990 jiwa. Sungguh angka yang sangat memprihatinkan karena hampir dua kali lipatnya dari jumlah buta aksara kaum laki-laki.

Pernikahan Dini yang Masih Tinggi

Satu hal lagi yang diperjuangkan Kartini adalah penolakan adanya pernikahan dini. Pernikahan dini hanya akan menghambat kemajuan kaum perempuan di bidang pendidikan, kebebasan hidup, bahkan mengganggu psikis perempuan.

Pernikahan dini sendiri dilatari oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah faktor ekonomi dan pendidikan. Tingginya angka kemiskinan di Indonesia membuat para orang tua lebih memilih menikahkan putri mereka ketimbang menyekolahkannya. Hal itu disebabkan akibat tidak sedikitnya biaya yang harus mereka keluarkan ketika anaknya menempuh pendidikan. Para orang tua yang menikahkan anak-anak mereka, dengan orang yang dikira cukup mampu membiayai hidup anaknya itu, membuat mereka beranggapan bahwa setidaknya satu beban keluarga telah berkurang.

Minimnya pengetahuan yang dimiliki orang tua pun berpengaruh cukup besar pada tingginya angka pernikahan dini. Pendidikan tentang seks masih dianggap tabu oleh sebagian orang. Padahal pendidikan seksual merupakan hal yang urgen bagi remaja ketika menghadapi kehidupan di luar. Dapat kita lihat sendiri, hampir sebagian besar remaja perempuan terpaksa menikah karena hamil di luar nikah. Adanya pendidikan tentang seks sangat diperlukan guna memberikan edukasi terkait pengenalan organ tubuh mereka. Edukasi tersebut juga akan membuat perempuan lebih membentengi diri dari sesuatu yang tidak diinginkan, seperti kekerasan seksual dan lainya.

Tingginya angka pernikahan dini juga tidak terlepas dari diskriminasi gender yang melekat pada lingkungan yang masih patriarki. Banyak orang tua bahkan lapisan masyarakat memilih menikahkan anaknya karena menganggap bahwa memang itulah tugas mereka sebagai perempuan, yaitu berkeluarga dan mengurus rumah tangga. Jadi untuk apa melajang lama-lama dan sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya akan kembali turun ke dapur.

Lalu mengapa pernikahan dini menjadi salah satu indikator ketertindasan dan keterbelakangan kaum perempuan? Pernikahan dini banyak membawa dampak negatif bagi perempuan. Risiko kematian ketika melahirkan sangat mungkin terjadi akibat kesiapan organ produktif mereka belum matang. Kondisi yang baik bagi perempuan untuk mengandung dan melahirkan adalah pada usia antara 21-35 tahun. Selain itu, pernikahan dini juga sangat rentan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Psikologi dan emosional mereka belum matang dan kuat ketika harus menanggung hal-hal yang berat. Seperti memikirkan perekonomian keluarga dan mengurus anak. Perempuan juga akan melepaskan kebebasan dan kemerdekaannya dalam menikmati masa muda ketika menikah dini.

Masifnya Tenaga Kerja Perempuan yang Dikirim ke Luar Negeri

Dari data yang dirilis Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNPPTKI) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2014 hingga Maret 2019, kuantitas pekerja migran Indonesia mencapai 1,55 juta. Selama triwulan 2019 populasinya mencapai 64.062 orang di mana 30% merupakan pekerja laki-laki atau sebanyak 19.579 dan 70% pekerja perempuan, atau sebanyak 44.465. Dapat kita ketahui, tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri bisa dikatakan tenaga kerja kasar yang hanya bekerja di ranah domestik.  

Sebagai pembatu rumah tangga, pengasuh di panti asuhan, dan panti jompo serta pelayan di rumah makan. Ironinya, tidak ada jaminan atas perlindungan keselamatan serta hak-hak yang seharusnya mereka peroleh. Bahkan kerap kali banyak tenaga kerja perempuan yang mengalami kekerasan secara fisik. Eksploitasi jam kerja besar-besaran dan tidak adanya hari libur kerap terjadi.

Uraian di atas menggambarkan bahwa perempuan masih jauh dari kata merdeka. Perempuan masih tertindas. Mimpi Kartini belum sepenuhnya tercapai. Aku, kamu, dan kalian sebagai Kartini mudalah yang harus mewujudkannya. Kita memang merdeka, kita memang bisa dengan bebas dan berbangga hati menikmati pendidikan saat ini. Tapi bagaimana dengan perempuan di luar sana? Bukankah kita saudara? Bukankah kita lahir dari rahim yang sama, yaitu rahim Kartini?

Kita memiliki tanggung jawab dan beban moral yang harus kita emban. Karena sebagai perempuan yang dikaruniai kemerdekaan untuk merasakan pendidikan dan memiliki tingkat intelektual tinggi, kita harus menjadi bagian yang dapat mencerdaskan perempuan di luar sana, dan ikut serta memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas.

“Habis gelap terbitlang terang” tidak akan tercapai begitu saja dengan upacara simbolik. Apalagi hanya memposting pamflet Kartini beserta kata-kata indah. Kita perlu berkonstribusi lebih jauh dengan “produk” tulisan dan gerakan agar lebih mendorong kebijakan yang berpihak pada perempuan. Apa yang kita rasakan hari ini bukan sebatas karunia yang datang begitu saja. Apa yang terjadi hari ini diperoleh dari perjuangan, keteguhan, kegigihan, dan kepedulian terhadap sesama. Jadi mari bersama-sama bergandengan tangan untuk mewujudkan mimpi Kartini.

Penulis: Nurlaili
Editor: Laeli Choerun Nikmah

Tags: OPINIPEREMPUANR. A. KARTINI
ShareTweetSendShare

Related Posts

Mampukah Indonesia Sejajar dengan Negara Maju saat Mahasiswa Berperan Menyongsong SDGs

Mampukah Indonesia Sejajar dengan Negara Maju saat Mahasiswa Berperan Menyongsong SDGs

16 November 2020
85
Ariana/PENDAPA

Dituntut Keadaan untuk Beradaptasi Setelah Mewabahnya Covid-19

31 Agustus 2020
90
Menagih Janji Rektor UST

Menagih Janji Rektor UST

11 Agustus 2020
131
Dibalik Pengesahan RUU Minerba di Tengah Pandemi Covid-19

Dibalik Pengesahan RUU Minerba di Tengah Pandemi Covid-19

10 Agustus 2020
88
Rasialisme dan Rasa Kemanusiaan: Berbedakah Indonesia dari Amerika Serikat?

Rasialisme dan Rasa Kemanusiaan: Berbedakah Indonesia dari Amerika Serikat?

9 Agustus 2020
198
Krisis Sebagai Upaya Hidup Baru

Krisis Sebagai Upaya Hidup Baru

3 Juli 2020
96
Implementasi Ekonomi Kerakyatan di Tengah Pandemi COVID-19

Implementasi Ekonomi Kerakyatan di Tengah Pandemi COVID-19

6 Mei 2020
2.6k
Merayakan Kembali Kehambaran Hari Pendidikan Nasional

Merayakan Kembali Kehambaran Hari Pendidikan Nasional

2 Mei 2020
167
Silang Sengkarut Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia

Silang Sengkarut Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia

27 April 2020
321

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA