Oleh Yohanes Rian Yafandi, Alumni Program Studi Akuntansi Tahun 2018 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
“Dari tahun ke tahun kita menyaksikan perdebatan tentang naik turunnya pertumbuhan ekonomi, baik di kalangan global ataupun dalam negeri. Selain menyediakan banyaknya literatur terkait problem perekonomian, hal ini juga menunjukan bahwa begitu banyak strategi peningkatan ekonomi yang dinilai masih kurang efektif, atau bahkan sembrono bila dilihat dari kacamata oposisi.”
Berbicara tentang ekonomi tidak jauh dari tiga hal pokok di dalamnya, yaitu produksi, konsumsi, dan distribusi. Bagaimana hal ini menuntut kualitas dan prestasi negara agar ketiganya dapat terwujud secara maksimal untuk kepentingan bersama. Selain politik, itulah yang seharusnya menjadi titik fokus dari pertengkaran intelektual hari ini. Namun yang terlihat hari- justru pertarungan elit yang sebenarnya menjadi suatu faktor pengahambat laju pertumbuhan ekonomi. Selain itu, informasi publik yang disuguhkan terkait pertumbuhan ekonomi masih secara umum dan tidak mudah juga untuk dipahami. Sementara yang kita butuhkan dari informasi ialah untuk mengakses dan membentuk komposisi-komposisi ekonomi sehingga memperoleh diskursus baru tidak disajikan.
Saya tidak mencoba mengkritisi perdebatan para elit, namun yang ingin saya sampaikan ialah, sudah saatnya kita berpikir tentang apa yang orang lain takutkan. Sekarang kita coba memberi satu tesis baru dan semoga mampu menjadi wacana tandingan untuk beberapa kalangan yang bergerak dibidang yang sama. Tesis itu ialah Indonesia akan membaik bila setiap 10 tahun mengalami krisis. Mungkin terdengar aneh, karena saya yakin semua negara melakukan segala cara supaya negaranya tidak mengalami hal demikian.
Mengapa demikian? Itulah yang akan kita bahas berikut ini, mengingat banyak teori yang tidak sepakat dengan berbagai bentuk krisis. Dalam hal ini kita akan melihat krisis ekonomi. Krisis merupakan sebuah peristiwa atau situasi tidak stabil dan menuju masa resesi, seperti yang sudah dialami Indonesia tahun 1998 dan 2008. Teori krisis ini juga yang menjadi puncak kritik Marx atas kapitalisme, bagi Marx kondisi krisis dalam pemulihanya akan dilakukan melalui konsolidasi kapital. Kala itu Marx melihat pergerakan inggris merajai akumulasi kapital. Setiap momen krisis selalu diikuti dengan usaha kapitalis memulihkan siklus akumulasi berdasarkan kepentingan kelasnya, dan selalu megorbankan masyarakat dengan latar belakang yang beragam. Seperti krisis yang terjadi di Amerika tahun 2007. Saat itu yang paling banyak mengalami kerugian ialah orang-orang berkulit hitam, karena mereka kehilangan rumah bila dibandingkan dengan orang-orang berkulit putih.
Bila kita melihat krisis dari pandangan kapitalisme maka yang terjadi ialah ketakutan. Namun siapa sangka krisis itu tidak selalu bertendensi negatif. Krisis dalam perusahan biasa terjadi akibat kurang antisipasi atau penilaian yang keliru terhadap resiko dan aset. Krisis pada negara bisa terjadi akibat ekonomi yang mengalami stagflasi, sementara inflasi melambung dan dibarengi dengan nilai tukar uang yang tidak sesuai harapan. Namun krisis yang akan kita pahami ke depan ialah kirisis yang memberikan pencerahan.
Krisis menjadi sangat penting untuk membedakan keeadan sebelumnya dan keadaan setelah krisis. Periode krisis didesain agar membuka sebuah rencana baru dan membuat keputusan berbeda di masa depan. Krisis merupakan momen untuk memproduksi sebuah kebijakan dengan benar dan tepat. Dalam hal ini dicapai dengan menggunakan beragam sistem aturan sesuai prosedur yang memproduksi regulasi, distribusi, dan beragam operasi pernyataan.
Bagi praktisi politik, krisis diperlukan untuk memproduksi kesadaran kritis tentang keadaan kekinian (a critical consciousness of the present). Dalam menciptakan momen kebenaran, krisis sering menjadi penanda atau titik penting bagi negara untuk membelah diri dan berpikir lebih maju. Selain itu juga negara akan melakukan analisis, membentuk kategori dan evaluasi terhadap berbagai kebijakan ekonomi. Janet Roitman dalam bukunya yang berjudul Anti-Crisis tahun 2014 menyatakan bahwa krisis merupakan momen politik untuk melegitimasi kebijakan atau aksi baru. Krisis menjadi momen untuk melakukan reorganisasi relasi antara masyarakat, negara, dan pasar. Di dalam bukunya, Roitman mengulas defenisis krisis dan mengukur krisis melalui diskursus kekuasaan, dan mencoba menentukan titik balik dari yang disebut sebagai “anti krisis”. Krisis sebagai sebuah pengetahuan baru yang akan menghakimi masa lalu.
Krisis moneter di Indonesia misalnya, pada tahun 1997-1998 solusi yang diambil ialah meminjam uang kepada IMF yang berujung pada intervensi ekonomi, kata Rizal Ramli. Hal itu mungkin tepat bila dilakukan saat krisis, namun tidak bila kita melihat efek jangka panjang, apa lagi dengan nilai tukar rupiah yang kadang melambung. Oleh karena itu perlu adanya sebuah pemahaman baru terkait krisis. Krisis merupakan legitimasi untuk membuka pasar lebih luas di berbagai daerah di Indonesia melalui kebijakan desentralisasi. Krisis juga menjadi legitimasi untuk mengurangi subsidi negara ke sektor-sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan dana pensiun. Dengan krisis, Indonesia akan memasuki era baru. Misalnya pembatasan hutang terhadap IMF, atau peningkatan daya ekspor sehingga bisa meningkatkan PDB sekaligus memperluas pasar internasional. Di akhir, krisis tidak didefinisikan sebagai sebuah kesakitan atau kebangkrutan bahkan menjadi akhir dari berdirinya suatu negara, namun sebagai tahap baru yang lebih baik dalam tranformasi kebijakan.
Editor: Arif Eko Widodo