Corona atau dikenal dengan Covid-19 adalah jenis virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Tertulis pada website kemkes.go.id bahwa Novel Coronavirus (2019-nCoV) adalah virus baru penyebab penyakit pernapasan. Novel Coronavirus merupakan satu keluarga dengan virus penyebab SARS dan MERS.
Diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penganggulangan Bencana menjadi penanda perpanjangan masa Work From Home (WFH). Pemerintah menganjurkan untuk social distancing dan physical distancing.
Anjuran lain juga datang dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMKES RI), di laman kemkes.go.id bahwa langkah pencegahan yang dianjurkan adalah sering mencuci tangan dengan sabun dan memakai masker. Hal itu dilakukan dengan harapan mampu memutus penyebaran Covid-19. Adanya kebijakan dan anjuran semacam itu membuat masyarakat mulai mengubah kebiasaan, bahkan kebiasaan yang sudah membudaya. Penggunaan hand sanitizer yang dulunya tidak begitu dipentingkan, kini berbanding terbalik karena permintaan hand sanitizer semakin melejit dan mengakibatkan kelangkaan. Alhasil harganya pun melonjak naik. Selain itu, penggunaan masker oleh masyarakat Indonesia kini menjadi pemandangan lumrah ketika berada di luar rumah.
Masker yang diburu masyarakat adalah masker bedah. Kelangkaan masker bedah juga merugikan pekerja medis. Merekalah garda terdepan yang berinteraksi langsung dengan pasien positif Covid-19 sehingga rentan tertular virus tersebut. Akhirnya muncul kampanye untuk menggunakan masker kain, agar masker bedah diperuntukkan kepada pekerja medis dan para penderita Covid-19.
Kini banyak orang yang menggunakan masker. Contoh saja di pusat-pusat perbelanjaan. Tempat pencuci tangan mendadak lumrah ditemukan. Lalu-lalu anjuran physical distancing dan #dirumahaja mulai dikeluarkan oleh pemerintah. Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang tidak melaksanakan anjuran tersebut. Hal ini terlihat jelas di desa tempat tinggal saya. Masyarakat masih enggan untuk sepenuhnya melakukan physical distancing. Hal ini dibuktikan dengan masih ramainya warga nongkrong di warung makan. Anak-anak yang bermain bersama seolah-olah sedang liburan sekolah padahal mereka tetap bersekolah via daring.
Sering kita jumpai kekosongan “masker dan hand sanitizer” di apotek-apotek. Sekalipun ada, harganya tidak masuk di akal. Pengalaman saya sebelum pandemi, harga masker di apotek dekat indekos berkisar Rp 5.000,00 per 10 masker sensi. Harganya melonjak naik setelah adanya virus corona. Sekitar pertengahan Maret, di apotek yang sama saya menanyakan harga masker naik Rp 20.000,00 per 5 sensi. Sungguh ironi, budaya memakai masker dan hand sanitizer atau cairan antiseptik berbahan alkohol laris manis dan harganya tidak manusiawi. Masyarakat ingin mecegah penyebaran virus, tetapi kesulitan yang dihadapi sungguh menyebalkan. I wonder tetapi apakah melonjaknya permintaan saja yang bisa menjadikan kelangkaan masker dan hand sanitizer? Atau ada oknum yang tidak bertanggung jawab yang menimbun dan menjual kembali demi keuntungan pribadi, who knows?
Ada yang menyebutkan bahwa jabat tangan dan kontak fisik lainnya masih diperkenankan. Dikutip dari BBC Indonesia bahwa Rita Damayanti, Pakar Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia (UI) mengatakan sejauh ini sentuhan kulit tidak dapat menularkan virus. Menurutnya yang perlu diperhatikan adalah sentuhan tangan di area-area berlendir seperti mata, mulut, maupun hidung setelah kontak fisik dengan penderita. “Droplet (percikan) itu dia tidak akan masuk kalau misalnya kita salaman, itu nggak bisa menular lewat salaman – kulit ke kulit. Tapi kalau misalnya salaman dengan orang yang terinfeksi virus, lalu mengucek mata, atau makan, itu bisa tertular,” kata Rita pada Maret 2020.
Anjuran-anjuran yang sudah ada itu berguna untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), tetapi anjuran saja tidak cukup. Saya kerap melihat di sekitar saya bahwasannya masker kain yang mereka gunakan seperti tidak dicuci selama seminggu. Ada juga yang menggunakan masker bedah, namun kondisi masker sudah koyak sana-sini. Mereka mencuci tangan tanpa sabun seakan sudah bersih dari segala macam kuman, bakteri dan virus, mungkin ya. Terpikirkan bahwa anjuran-anjuran yang ada saat ini tidak akan efektif jika tidak diimbangi dengan sosialisasi penggunaan, pencucian, bahkan pembuangan masker yang benar.Mencuci tangan dengan sabun sesuai protokol, dan tentu saja informasi dampak-dampak jangka panjang penggunaan hand sanitizer.Itu semua perlu ada ketepatan dalam sosialiasi.
Banyak dari kebiasaan masyarakat yang mendadak harus berubah dan kita dituntut untuk bisa beradaptasi dengan keadaan.Sebagai manusia kita semua menjadi potential carrier virus menjadi lebih awas dan parno-an. Begitu juga mengenai tata cara ibadah agama. Dalam Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa No. 14 tahun 2020. Seperti dikutip dari laman mui.or.id, fatwa yang dimuat di infografis No.4, bahwa dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan salat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali, dan wajib menggantikannya dengan salat Zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah salat lima waktu/rawatib, salat tarawih, dan salat Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
Umat Hindu pada 25 Maret lalu merayakan Hari Raya Nyepi. Akan tetapi sesuai dengan imbauan, perayaan Nyepi mestinya tidak dirayakan seperti biasanya mengingat pentingnya menghindari kerumunan demi mencegah penularan Covid-19. Dilansir dari mongabay.co.id bahwasannya Melasti atau ritual penyucian alam sebelum Nyepi yang biasanya dilakukan ratusan ribu warga kini jauh berkurang. Surat Edaran Gubernur Bali pada 20 Maret 2020 merevisi surat sebelumnya, menganjurkan agar tidak berkerumun termasuk tajen, tidak mengadakan pengarakan Ogoh-ogoh dalam bentuk apapun dan di mana pun, serta Melasti maksimal diikuti 25 orang.
Kita semua dituntut untuk beradaptasi dengan keadaan baru, termasuk dalam kebiasaan yang sudah lama dilakukan. Tentu saja segala surat keputusan dan anjuran #dirumahaja dari pihak yang berwenang tiada guna tanpa adanya kesadaran dari diri untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia. Kebiasaan baru ini tentu saja menjadi ihwal pencegahan penyebaran Covid-19 dan merupakan bagian dari PHBS.
Saya jadi bertanya-tanya, lantas apakah kebiasaan PHBS ini perlahan akan musnah seiring musnahnya Covid-19? Duuhh Gusti, sayang sekali jika memang benar begitu. Mari menunggu pertanyaan ini terjawab. Kata banyak orang, disuruh “sabar yaa ini ujian”. Semoga semuanya segera pulih. Indonesia kembali berwarna saat malam hari. Sesuatu yang harusnya dilakukan dapat segera berjalan semestinya, serta setiap orang bisa beraktivitas sebagaimana adanya tanpa harus dibayangi rasa takut akan terpapar Covid-19.
Penulis : Lailatul Nur Aini
Editor: Arif Eko Widodo