Tertulis dalam sebuah artikel www.mongabay.co.id oleh Della Syahni (Banten) dan di publish pada tanggal 13 Mei 2020 menjelaskan tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) oleh pihak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada (12/5/20). Saat proses pengesahan Undang-Undang (UU) Minerba bersamaan dengan tragedi Trisakti 22 tahun silam, sehingga terdapat banyak karangan bunga dan keranda mayat sebagai tanda duka cita dari warga di depan kantor gedung DPR. Bahkan sebelum memulai sidang paripurna pengesahan RUU Minerba, warga tersebut mengecam DPR dan Presiden Joko Widodo karena mereka beranggapan bahwa DPR dan presiden beserta jajaran pemerintah lainnya lebih memilih kepentingan industri Batubara daripada kepentingan rakyatnya.
Salah satu pihak pemerintah Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang juga bertanggungjawab dalam proses perancangan UU Minerba mengatakan bahwa, “Masyarakat sipil bersama rakyat tak akan tinggal diam dan akan mengambil langkah-langkah hukum ataupun lainnya. Baik itu dari pemerintah, DPR, ataupun korporasi.’’ Adapun tanggapan-tanggapan lain dari pihak pemerintah yang ikut terlibat dalam RUU Minerba ini antara lain Iqbal Damanik, Peneliti Auriga Nusantara mengatakan bahwa “Pengesahan RUU Minerba ini menambah panjang masa ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam.” Sementara Pius Ginting, selaku Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, “Saya khawatir apabila UU ini berlaku, luas tambang bakal makin mendorong deforestasi, keragaman hayati makin terancam dan habitat hewan liar makin terganggu.”
Padahal Belum Mendesak, Lantas Mengapa RUU Minerba Disahkan?
Hasil Rapat Paripurna pada (12/5/2020), pemerintah telah mengesahkan RUU Minerba. Ada penambahan 2 bab baru, 18 pasal yang dihapus, 83 pasal yang diubah, dan 52 pasal yang baru. Tidak ada perdebatan yang terjadi karena delapan dari sembilan fraksi yang hadir langsung menyetujui RUU tersebut. Apakah pengesahan RUU Minerba ini lebih mendesak dibanding berfokus mengurus persoalan yang sedang terjadi saat ini yaitu pandemi Covid-19?
Dalam artikel tersebut menjelaskan bahwa pada masa Pandemi Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19) tampaknya akan menjadi suatu kesempatan dalam upaya untuk meloloskan RUU yang menjadi kontroversi atau menjadi permasalahan besar yang dihadapi pemerintah sehingga menimbulkan keresahan dan rasa tidak terima dari seluruh masyarakat. Dilansir dari www.cnbcindonesia.com Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar mengatakan pembahasan RUU Minerba sangat dipaksakan ditengah-tengah Pandemi Covid-19 saat ini. Selain itu, Direktur PUSHEP juga menganggap bahwa pembahasan RUU ini juga lumayan tertutup karena tidak mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dibandingkan memikirkan tentang New Normal yang sudah harus dimulai saat itu, pemerintah nampaknya malah teralih konsentrasinya ke arah RUU Minerba ini. Terbukti dengan banyaknya pasal yang diperbarui, ditambah, bahkan dihapuskan. Hal tersebut membuktikan presiden, DPR, serta jajarannya menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk membahas semua itu. Apabila ingin melakukan pengesahan terhadap suatu RUU, saya rasa sebaiknya presiden, DPR, dan jajaran pemerintah mengkaji manakah urusan yang harus didahulukan terlebih dulu. Alih-alih menangani Pandemi Covid-19 yang semakin merebak di negara tercinta, malah pengesahan RUU Minerba ini tampak lebih penting untuk didahulukan. Padahal jelas-jelas Pandemi Covid-19 telah memakan banyak jiwa.
Lebih Cenderung Menguntungkan Pengusaha?
Kepada www.m.detik.com, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya menuturkan bahwa salah satu poin penting dalam RUU ini ialah perpanjangan izin tanpa lelang. Pasal 169A yang berisi tentang Perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batu Bara (PKP2B) juga melunak. Pasal tersebut berisi setiap pengusaha tambang dapat memperpanjang KK dan PKP2B tanpa lelang dengan rincian dua kali perpanjangan dan masing-masing selama 10 tahun.
Perpanjangan tanpa lelang jelas bukan hal yang cukup baik menurut saya. Padahal melalui lelang, pemerintah diharapkan bisa melakukan evaluasi terhadap pengelolaan tambang oleh pengusaha. Baik tanggungjawab perusahaan terhadap lingkungan, ada tidaknya konflik internal maupun konflik eksternal, pengelolaan limbah, dan lain-lain. Poin ini jelas menguntungkan pengusaha yang tidak perlu terlalu khawatir dan takut-takut dalam mengeksplorasi tambang milik negara. Seharusnya, pasal ini tidak dihapuskan agar Pemerintah bisa memiliki kontrol lebih terhadap pengusaha yang mengelola tambang di tanah air kita. Dengan begitu, pengusaha asing maupun pengusaha lokal juga tidak akan semena-mena ketika mengeksplorasi kekayaan alam di Indonesia.
Sementara pengamatan oleh www.katadata.co.id, perubahan aturan divestasi saham juga bisa diperhatikan dalam pasal 112 UU Minerba. Pasal tersebut berisi setelah 5 tahun badan usaha yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan asing wajib melakukan divestasi saham sebesar 51% secara berjenjang kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta Nasional.
Undang-Undang Minerba dalam pasal 112 tersebut hanya mengalami perubahan satu kata dibandingkan RUU-nya. Alih-alih tetap menggunakan kata “secara langsung”, pemerintah seolah melonggarkan pengusaha dengan mengubahnya menjadi secara berjenjang. Secara tidak langsung, keuntungan ekonomi bagi negara pun tidak bisa terjamin sepenuhnya. Seharusnya dengan ketegasan dalam divestasi saham tersebut, perekonomian negara bisa berjalan maju meski hanya sedikit.
Penulis: Theresia Priska Alfeyans, Debora Tyanadinda
Editor: Widiya Saputri