“Kekuatan rakyat itulah jumlah kekuatan tiap-tiap anggota dari rakyat itu. Segala daya upaya untuk menjunjung derajat bangsa tidak akan berhasil kalau tidak dimulai dari bawah. Sebaliknya rakyat yang sudah kuat akan pandai melakukan segala usaha yang perlu atau berguna untuk kemakmuran negeri.”
Terseragam, merupakan kata yang tepat untuk mengambarkan kondisi perguruan Tamansiswa saat ini. Tamansiswa sebagai perguruan seakan telah kehilangan nilai unik atau nilai pembeda yang menjadi ciri khususnya. Konsep dan ajarannya memang masih ada, namun dalam ranah aksi dan penerapannya seakan Tamansiswa hari ini telah mulai ikut mengekor pada sistem kapitalisme pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrasi perguruan, seakan sudah tidak lagi melalui pertimbangan yang matang. Pertimbangan yang dikeluarkan hanya pertimbangan yang diperoleh dari hasil analisa untung dan rugi, bukan lagi pertimbangan tentang dampak serta kesejahteraan peserta didiknya. Pertimbangan tersebut menjadikan perguruan Tamansiswa terseragam dengan perguruan-perguruan lain, yang merubah esensi perguruan menjadi perusahaan.
Perguruan Tamansiswa seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyelenggarakan pendidikan yang memanusiakan, malah berbalik langkah dan ikut serta dalam tindakan-tindakan mengkomersilkan pendidikan. Mulai dari pembangunan gedung baru yang senyatanya hanya untuk kepentingan mendongkrak peminat, tarik ulur surat edaran yang seakan menunjukan banyak keraguan dari para pemangku kebijakan, sistematika serta skema pembelajaran online di masa pandemi yang jauh dari kata efektif, hingga yang paling baru minimnya potongan pembayaran SPP Tetap yang jauh dari penglihatan nurani mengenai kondisi ekonomi yang memburuk di masa pandemi. Selain itu, pembungkaman dan tindakan represifitas kampus terhadap kebebasan berpendapat mahasiswa-mahasiswinya menambah daftar panjang kekonyolan yang dilakukan oleh birokrasi kampus yang katanya memanusiakan manusia serta berpegang pada kemerdekaan kodrat alam itu. Pada akhirnya konsep dan ajaran Tamansiswa seakan hanya menjadi hiasan semata dan nama besar Ki Hadjar Dewantara seakan hanya menjadi simbol semata, tidak ada lagi bentuk-bentuk pengabdian serta memperjuangkan keberlangsungan kehidupan masyarakat. Jikalau memang ada, mungkin hanya sebatas kuliah kerja nyata (KKN) saja.
Pendidikan Tamansiswa senyatanya merupakan suatu pola dan/atau mekanisme pendidikan yang bisa digunakan untuk menjawab carut-marut problematika yang ada di negeri ini. Pendidikan yang mengajarkan manusia untuk memanusiakan manusia lainnya adalah pendidikan yang sejatinya memang dibutuhkan oleh bangsa ini. Segala bentuk problematika yang hari ini menimpa bangsa mulai dari ketimpangan sosial, kebijakan pemerintah yang terkesan menyengsarakan rakyat, hingga konflik-konflik SARA yang tidak sesegera mungkin menemukan ujungnya merupakan bagian dari problematika yang terjadi dan disebabkan oleh faktor manusianya.
Oleh karena itu, dalam mengatasi permasalahan tersebut maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki manusianya melalui pendidikan. Pendidikan Tamansiswa atau ajaran Ki Hadjar Dewantara adalah solusi bagi segala bentuk problematika yang ada. Tentu bukan hanya pendidikan Tamansiswa atau ketamansiswaan yang dua semester didapat pada bangku perkuliahan, yang hanya mempertontonkan retorika teori semata. Namun pendidikan Tamansiswa yang secara penerapan nyata. Pendidikan Tamansiswa yang secara tindakan mengarah kepada pendayagunaan ilmu dan pengetahuan yang sudah didapat pada bangku perkuliahan. Pendidikan Tamansiswa yang menerapkan Trihayu secara penuh, bukan hanya menerapkan memayu hayuning saliro (berguna bagi diri sendiri) semata namun juga mampu untuk memayu hayuning bongso (berguna bagi bangsa) dan memayu hayuning manungso (berguna bagi manusia seluas-luasnya).
Pandemi sejatinya dan seharusnya menjadi bahan merefleksi diri untuk semua pihak terutama pihak birokrasi dan/atau pemangku kebijakan di dunia pendidikan. Sistem atau skema pendidikan yang diterapkan dan digunakan pra pandemi terbukti hancur lebur ketika harus menghadapi masa pandemi. Tentu permasalahannya bukan terletak pada pandemi secara penuh, namun juga sistematisasi pendidikan yang tidak seharusnya mengucilkan nilai-nilai dinamis atau kodrat alam anak didik.
Pendidikan Tamansiswa adalah solusi dan seharusnya memang Tamansiswa menjadi garda terdepan dalam melawan kapitalisme pendidikan dan pendidikan yang bersifat individualistik, bukan malah turut serta atau ikut mempraktikkan kapitalisme pendidikan. 98 tahun lalu Tamansiswa berdiri untuk melawan privatisasi dan kapitalisme pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui STOVIA, HIS, dkk. Namun 98 tahun berikutnya, di tempat dan/atau perguruan yang sama, praktik-praktik kapitalisme dan privatisasi pendidikan yang dulu dilawan malah balik dijadikan kawan dan turut serta dipraktikan. Ironi memang, berbangga hati menyosong satu abad dengan sebuah ilusi kemajuan pembangunan yang nyatanya merupakan suatu kemunduran. Akankah perayaan satu abad Tamansiswa akan dijadikan monumen peringatan yang menuliskan “Di tempat ini dahulu pernah ada suatu usaha perjuangan untuk melawan privatisasi dan kapitalisme pendidikan, namun pada akhirnya nyala api perjuangan tersebut padam karena para penerus malah turut serta mempraktikan privatisasi dan kapitalisme pendidikan yang tidak manusiawi”. Masih akankah Tamansiswa menjadi alat perlawanan progresif serta alat pembebasan kolektif? Ataukah Tamansiswa akan beralih peran menjadi perusahaan kapital yang berlindung dalam nama besar pendidikan?
Kontributor : Karunia Kalifah Wijaya
Editor : Zukhruf Kalyana Mukti