Selasa (31/3) merupakan hari ke tujuh saya menjalankan isolasi mandiri selepas kepulangan dari Yogyakarta pada (24/3) lalu. Saat ini, pukul 10:45 WIB, saya mulai menuliskan apa yang menjadi isi dalam tulisan ini. Hari sangat buruk. Sedikit cemas banyak rindunya, he he. Sedikit guyonan merupakan nafas panjang untuk hari yang sedang tidak baik-baik saja ini.
Seperti di daerah-daerah lainnya, Belitung kini mulai terasa sepi. Masyarakat berbondong-bondong menyepakati pendapat bahwa keluar rumah haruslah menjadi kegiatan yang tabu. Tak hanya itu, mahasiswa-mahasiswa yang pulang dari tanah rantau pun harus mendapatkan berbagai stereotip “serong” dari masyarakat. Bagaimana tidak, wabah Covid-19 yang saat ini melanda dunia secara umum dan pulau kami khususnya, telah menjelma menjadi wabah kepanikan bagi seluruh masyarakat.
Belitung sendiri merupakan sebuah pulau kecil yang secara keseluruhan hanya memiliki luas 4.800 km2 atau 480.010 ha. Jikalau pulau sekecil ini terkena serangan virus, terlebih virus yang mematikan seperti Covid-19, maka akan sangat membahayakan. Tak dinyana, apa yang menjadi ketakutan bersama itu kini betul-betul terjadi. Senin (30/3), Sahani Shaleh, selaku Bupati Belitung, mengumumkan bahwa ada satu pasien yang positif terkena virus corona di Pulau Belitung.
Kepanikan pada warga kian menjadi. Segala upaya pencegahan segera dikerahkan mengikuti imbauan yang dikeluarkan oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman pada (20/03). Dalam surat imbauan tersebut, Erzaldi menegaskan 4 hal yang harus segera dilaksanakan oleh masyarakat.
Pertama, membatasi kegiatan yang bersifat perkumpulan orang banyak dan memberikan anjuran kepada masyarakat untuk melakukan social distancing.
Kedua, mengimbau kepada pengusaha tempat wisata untuk menutup sementara tempat wisata demi mencegah semakin meluasnya penyebaran Covid-19 dalam kumpulan wisatawan.
Ketiga, mengimbau kepada pengusaha resto/tempat hiburan malam untuk menghentikan aktivitasnya pada pukul 20.00 WIB.
Keempat, mengimbau kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat untuk mengurangi/menghentikan sementara kegiatan yang bersifat perkumpulan orang banyak dan menggantinya dengan kegiatan yang sesuai anjuran agama/adat masing-masing.
Namun imbauan di atas hanya berfokus untuk menanggulangi penyebaran virus corona saja. Perihal kondisi mental/jiwa masyarakat yang saat ini sedang dilanda kepanikan, nampaknya belum benar-benar diperhatikan.
Imbas Distres Psikologis terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Seperti yang kita ketahui, rasa panik merupakan naluri alamiah dari setiap diri manusia. Namun kepanikan yang berlebihan tentu saja akan berakibat buruk. Hal semacam ini akan menimbulkan prasangka-prasangka, bahkan diskriminasi antar sesama masyarakat. Bayangkan, setiap masyarakat harus saling menghindar, saling menuduh, dan saling bertengkar satu sama lain demi semata-mata menyalurkan rasa paniknya. Jika hal ini terus dibiarkan, yang ditakutkan nantinya, masyarakat akan mengalami Distres Psikologis.
Distres psikologis merupakan suatu kondisi penderitaan emosional yang ditandai dengan gejala depresi (kehilangan minat, kesedihan, dan keputusasaan) dan kecemasan (tegang dan gelisah). Gejala-gejala tersebut berkaitan dengan gejala somatik (insomnia, sakit kepala, kekurangan energi) yang bervariasi sesuai dengan kultur (Drapeau, Marchand & Beaulieu Prevost: 2011).
Demi mengantisipasi hal tersebut, mental masyarakat Belitung harus mulai menjadi perhatian serius di tengah pandemi ini. Rasa panik yang berlebihan akan menurunkan produktivitas masyarakat (seperti berkerja dan berinteraksi) guna memenuhi kebutuhannya sebagai mahluk sosial. Bila keadaan terus seperti ini, maka akan terjadi disfungsi sosial dalam masyarakat. Disfungsi sosial merupakan ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan sosial dan untuk melakukan peran sosial secara tepat (Stanghellini & Ballerini: 2002).
Sebagian besar pekerjaan utama masyarakat Belitung bersifat informal (seperti petani, nelayan, penambang, buruh, dan pedagang). Pada triwulan I 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Bangka Belitung menyebutkan bahwa struktur perekonomian Kepulauan Bangka Belitung, didominasi oleh 4 lapangan usaha utama yaitu: Industri Pengolahan (20,34%), Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (19,05%), Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil, Sepeda Motor (15,80%), serta Pertambangan dan Penggalian (10,96%).
Melihat dominannya sektor pekerjaan masyarakat Belitung yang bersifat informal, distres psikologis ini tentu saja akan mengakibatkan goyahnya perekonomian di pulau Belitung. Pasar-pasar dan warung-warung tentunya akan sepi pembeli. Hal ini juga dapat mengakibatkan turunnya nilai jual hasil laut dan tani serta ancaman barang yang tidak terbeli. Usaha-usaha jasa lainnya pun juga nampaknya akan terbengkalai.
Kondisi semacam ini berpotensi menurunkan kesejahteraan masyarakat secara drastis. Kalau sudah begitu, masyarakat yang dilanda kepanikan akibat wabah Covid-19 nantinya dapat mengalami krisis finansial. Sementara masih banyak kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi karena pada saat ini, masyarakat masih harus memenuhi sendiri segala kebutuhannya.
Pendekatan Yang Intensif
Kepanikan masyarakat di tengah pandemi ini juga merupakan sebuah respon atas informasi-informasi kuantitatif yang saat ini sedang gencar-gencarnya berkembang perihal kasus Covid-19. Informasi yang belum pasti kebenarannya ataupun hoax juga ikut “memeriahkan” kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Jika hal semacam ini terus menerus dibiarkan, distres psikologis di tengah masyarakat akan kian menjadi-jadi.
Saat ini peran pemerintah tidak hanya harus berfokus dalam menanggulangi penyebaran saja, akan tetapi juga harus memperhatikan kesehatan mental/jiwa masyarakat, dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang intensif. Pendekatan itu bisa berupa sosialisasi, pelayanan sosial, maupun pelayanan psikososial yang tentu saja dalam pelaksanaanya harus dilakukan oleh mereka yang ahli di bidangnya.
Pendekatan intensif dari sesama masyarakat saat ini juga tidak kalah penting. Saling mengingatkan dan menenangkan rasanya lebih pantas dilakukan dibanding saling tuduh dan menyalahkan satu sama lain. Sekali lagi, kepanikan yang melanda saat ini merupakan naluri alamiah dari setiap diri manusia, maka dari itu, kita harus mampu dengan bijak menyikapinya.
Penulis: Aldi Julyansyah
Editor: Ade Tegar Irsandy