Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dimiliki setiap warga negara. Orang-orang dengan keyakinan masing-masing bebas menjalankan peribadatannya tanpa diganggu orang lain, tak terkecuali para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia. Untuk terus ada dan memiliki pengetahuan sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya, penting adanya pendidikan bagi penghayat kepercayaan ini. Tiap-tiap penyuluh pendidikan harus memiliki bekal pengetahuan yang mumpuni untuk diajarkan penerus. Meski pada nyatanya beberapa kasus intoleransi pada kepercayaan ini membuat bibit-bibit generasi menurun. Untuk menjaga semua keyakinan dalam perlindungan, sekiranya negara mendukung eksistensi kepercayaan ini dalam peraturan dan regulasi yang harus ditegakkan.
Dian Jennie Cahyawati, Ketua Umum Perempuan Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (Puanhayati), menjabarkan jumlah organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia tahun 2017. Ada 188 organisasi di tingkat pusat, 986 di tingkat cabang, dan 161 organisasi aktif yang menurutnya menurun hingga saat ini. Banyak terjadinya masalah dan kendala di masa lalu yang berdampak hingga hari ini seperti diskriminasi, peminggiran, stigmatisasi, dan regulasi-regulasi yang diskriminatif terhadap kepercayaan menyebabkan penyusutan di dalam organisasi maupun dalam jumlah warga di setiap komunitas.
“Situasi ini sesungguhnya berdampak sangat panjang pada psikologi penghayat kepercayaan hingga hari ini sehingga dampaknya begitu luas, dan yang paling kita rasakan adalah penyusutan dengan hilangnya generasi pewaris akibat tekanan secara eksternal,” ujar Dian dalam webinar series Inklusif 100% seri 2 oleh Sanggar Inovasi Desa, bertema Yang Beda, yang Memberi Warna: “Mewujudkan Pelayanan Publik yang Inklusif bagi Kelompok Penghayat di Desa pada 21/9/2020.
Merujuk pada konstitusi negara, perlindungan hukum secara konstitusi bagi seluruh warga bangsa menurutnya sudah diatur dengan baik. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 E ayat 2 bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani”. Serta UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.
Ia mengatakan spirit dari hukum konstitusi dalam UUD 1945 Pasal 28 dan 29 menunjukkan bahwa negara mempunyai tiga tugas dan fungsi. Pertama, negara harus menghormati setiap keyakinan warga negara, dan ini sifatnya pasif. Kedua adalah spirit dimana tugas dan fungsi negara adalah melindungi seluruh keyakinan yang dianut oleh warga negara, dalam hal ini negara harus bersikap aktif. Terakhir adalah memenuhi. Memenuhi artinya bahwa negara harus bersikap adil, tidak ada pembedaan, tidak ada kelas, tidak ada mana yang lebih penting dan mana yang tidak, berapa jumlah keyakinan ini dan keyakinan yang lain, tetapi pemenuhan itu adalah setara tanpa pembedaan.
Dari ruang tadilah ia mengira seringkali penempatannya menjadi overlapping, karena di mana negara harus pasif tetapi negara aktif, di mana negara aktif tetapi negara pasif.
“Saya kira ini hal-hal yang harus kita pahami dan cermati bersama untuk terus melakukan pengawalan atas setiap aturan-aturan dan regulasi yang ada di negeri ini,” katanya.
Di luar itu, melihat adanya Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan, bagi anak-anak penghayat kepercayaan, ia melihat kemajuan yang luar biasa. Menurutnya ini merupakan ruang strategis bagi penghayat kepercayaan untuk mengembalikan kembali dan melakukan kaderisasi dalam ruang pendidikan anak-anak yang sudah bisa diakses di sekolahan hari ini.
Ia sendiri sebagai bagian dari penyuluh kepercayaan yang mengampu anak didik di sekolahan merasa hal itu adalah kemajuan-kemajuan dari regulasi yang sudah diberikan negara, untuk bisa bagaimana penghayat kepercayaan mendapatkan pelayanan publik yang sama dan setara. Dari ruang itu pula Puanhayati berupaya untuk menciptakan kembali kader-kader dan generasi penerus penghayat yang memiliki wawasan, kemampuan, serta rasa percaya diri. Karena menurutnya tidak mudah untuk anak-anak penghayat di awal-awal, mereka mengaku sebagai anak didik penghayat kepercayaan.
Perlunya Sarana Prasarana dan Standarisasi Penyampaian Kepercayaan
Diskusi melalui Zoom dan live streaming via YouTube dan Facebook mengundang Kristofel Praing, Kadis Dukcapil Sumba Timur. Kristofel menyoroti harus adanya political real dari pemerintah atau Negara Republik Indonesia. Tidak hanya berhenti pada keputusan Mahkamah Konstitusi tetapi juga dengan regulasi-regulasi yang menyertainya, yang pro pada penghayat kepercayaan. Meski sudah ada peraturan menteri atau peraturan pemerintah yang berkaitan dengan kurikulum bagi pengajar atau guru penghayat, harus ada persiapan sejumlah dana atau sarana prasarana yang memungkinkan masyarakat menjadi nyaman ketika melaksanakan berbagai aktivitas keyakinannya.
Kristofer menyampaikan demikian karena menurutnya masyarakat penghayat sudah terlalu lama terhegomoni oleh pemerintah, baik pada tataran aturan maupun dalam interaksi sosial dengan masyarakatnya.
“Mereka ini menjadi warga kelas 2, kelas 3 yang dalam praktiknya tidak mendapatkan sesuatu yang menjadi haknya sebagaimana dijamin oleh konstitusi undang-undang dasar,” katanya.
Dani Pristiawan, Kepala Desa Salamrejo, Kulon Progo memaparkan bahwa tidak ada masalah di tempatnya terkait penghayat kepercayaan. Tidak ada paksaan apapun dalam proses belajar karena dikembalikan kepada individu masing-masing.
Namun, ia sendiri mengusulkan alangkah lebih baiknya jika para penganut ini mempersipkan SDM untuk bertugas memberikan tuntunan kepada para pengikutnya. Hal tersebut karena di tempatnya sendiri, ia merasa belum mengerti, siapa tim yang bertugas di bidang pendidikan. Ia juga mengatakan perlunya pembicaraan serius dalam satu meja dengan para pemangku kepentingan. Menurutnya, untuk pengisian tenaga didik ada persyaratan tersendiri dari dunia pendidikan itu sendiri.
“Jadi perlunya standarisasi untuk menyampaikan ini kepada anak didik yang dimaksud. Karena nanti juga akan dikembalikan juga kepada si anak didik. Si orangtua juga tidak bisa memaksakan kepercayaan ataupun agamnya kepada anaknya. Bisa jadi anaknya nanti berbeda pula,” ujarnya.
Kegiatan dan Konsolidasi Pendidikan oleh MLKI
Amar Kuliatu Zahro dari Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kabupaten Banyumas memaparkan beberapa hal yang telah dilakukan MLKI Kabupaten Banyumas sejak berdiri. MLKI Banyumas konsen untuk konsolidasi internal dan eksternal dan beberapa hal lain. Untuk konsolidasi internal, ia mengatakan telah melakukan kegiatan anjangsana atau kunjungan-kunjungan ke beberapa paguyuban-paguyuban penghayat kepercayaan yang ada di Kabupaten Banyumas serta beberapa komunitas adat yang tersebar di seluruh penjuru kabupaten. Pendataan dan sosialisasi dilakukan terkait beberapa hal yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan atau hak-hak yang didapatkan bagi para penganut kepercayaan. Untuk konsolidasi eksternal, MLKI mengupayakan pelayanan-pelayanan atau memperkenalkan eksistensi keberadaan para penganut kepercayaan yang ada di Kabupaten Banyumas.
Bersama dengan para pengurus MLKI dan para penyuluh, Amar mengungkapkan telah dilakukan konsolidasi tentang pendidikan putra-putri penghayat dengan dinas pendidikan, kabupaten, dan juga Balai Pengendali Pendidikan Menengah Dan Khusus (BP2MK) Dinas Pendidikan Cabang Provinsi Jawa Tengah dan sekolah-sekolah. Fasilitasi pendidikan putra-putri penghayat tersebut telah berjalan sejak tahun 2017 di tingkat SD, SLTP sampai dengan SLTA.

“Dan yang terbaru di tahun 2020 kemarin ada mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang juga seorang penghayat kepercayaan,” katanya dalam diskusi yang dimoderatori Ida Fitri Astuti, Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS).
Langkah Pelayanan Pendidikan dari Pemerintah
Syamsul Hadi, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat dari Kemendikbud memaparkan bahwa dalam rangka upaya peningkatan layanan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, perangkat peran hukumnya ada dalam peraturan perundang-undangan, UUD 1945 Pasal 28-29, serta dalam Pasal 31 yang berkaitan dengan pendidikan.
Kemudian, direktorat dibawah naungan Kemendikbud ini juga mengacu pada UU 20/2003 dimana sistem pendidikan nasional dalam prinsip penyelenggaraanya tertuang di Pasal 4 ayat 1 yaitu “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Perihal Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016, ia mengatakan bahwa direktorat ini telah menyiapkan pedoman teknis untuk pelayanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dilanjutkan dengan penyiapan sumberdaya dan penyiapan buku teks SD, SMP, SMA yang saat ini sudah terealisasi. Untuk kompetensi inti, Samsul mengatakan bahwa direktorat ini bersinergi atau bermitra dengan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yaitu di departemen pendidikannya.
“Alhamdulilah tahun ini untuk pendidik kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ada sedikit stimulus yang memberikan kesejahteraan kepada seluruh dan sudah terealisasi kepada pendidik kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” ungkapnya.
Untuk peserta didik, Syamsul menyebutkan teridentifikasi ada sebanyak 2.868 orang dan sudah terlayani. Hal itu menurutnya berkat kerja keras MLKI dan Dewan Musyawarah Daerah (DMD) MLKI dan didukung oleh penyuluh sebagai ujung tombak melakukan layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di sekolah-sekolah formal.
Disisi lain, ia memaparkan untuk peta persebaran penyuluh dan dari jumlah peserta didik dengan jumlah guru yang ada menurutnya masih kurang. Syamsul mengatakan tahun ini ada Bimbingan Teknis (Bintek) untuk penyuluh, namun karena pandemi hanya penguatan kompetensi yang saat ini dilakukan yaitu workshop untuk penyuluh kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam peningkatan kompetensi itu pula, ia menuturkan banyak materi-materi yang juga sebagai upaya penyiapan program merdeka belajar ke depan.
“Sehingga paling tidak melalui materi-materi workshop yang diselenggarankan mulai hari ini (21 September: red) sampai tanggal 24, itu bisa akan lebih mengayakan pengetahuan dari penyuluh pendidik kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” pungkasnya.
Penulis: Laeli Choerun Nikmah