“Misalnya, tafsirnya sangat hegemonik. Oleh elit kampus tidak dilakukan diskusi khusus yang dalam di Senat Universitas. Bahkan cenderung di dominasi oleh segelintir elit Fakultas, segelintir elit Senat Universitas. Kemudian yang kedua, tafsir itu kemudian menjadi dipertanyakan ketika misalnya proses-proses pemberian gelar Doktor Honoris Causa itu justru dilatari oleh pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan elit politik misalnya. Jadi ada pertemuan-pertemuan sebelumnya antara elit kampus dengan elit politik baru kemudian dibawa dihadirkan di dalam 1 Senat Universitas, nah itu prosesnya sangat top down bukan bottom up,”
Tempo mengadakan diskusi online berjudul “Obral Honoris Causa, Dari Politikus Hingga Koruptor” pada Selasa, (16/2). Diskusi disiarkan secara live melalui beberapa media sosial Tempo yaitu, Facebook TEMPOMEDIA, kanal Youtube Tempodotco, dan TV Tempo 813UHF. Acara ini menghadirkan Fatur Rokhman selaku Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES), Rina Indiastuti selaku Rektor Universitas Padjajaran (UNPAD), Ubaedillah Badrun selaku Pengamat Politik dan juga Stefanus Edi Pramono selaku Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang hadir sebagai Redaktur Pelaksana Nasional dan Hukum Majalah Tempo serta dipandu oleh Arif Zulkifli selaku Kepala Pemberitaan Korporat Tempo.
Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa yang Tidak Transparan
Diskusi awal dibuka oleh Arif, menurutnya pemberian gelar Doktor Honoris Causa bukan hal yang baru di negara ini sebab pada akhir tahun lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang olahraga dari UNNES, Arif menuturkan bahwa hal tersebut sama seperti yang diterima oleh Nurdin Halid.
“Tata cara dan syarat pemberian gelar diserahkan pada kampus masing-masing artinya tidak lagi membutuhkan aturan mengenai persetujuan dari Kementerian. Kementerian hanya berwenang mencabut gelar itu jika terbukti tidak memenuhi syarat,” ungkap Arif.
Selain itu Arif juga mengungkapkan bahwa dalam laporan utama majalah Tempo pekan ini, redaksi Tempo menemukan beberapa fakta terkait pemberian gelar tersebut mulai dari proses yang dianggap tidak transparan, tidak melibatkan senat universitas dalam proses pengambilan keputusan dan melobby para pejabat untuk mendapatkan gelar kehormatan dari kampus.
Stefanus Edi Pramono selaku Redaktur Pelaksana Nasional dan Hukum Majalah Tempo, mengutarakan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pemberian gelar doktor kehormatan bagi Nurdin Halid. Pram mengungkapkan bahwa menurut beberapa sumber yang sudah ditemui bahwa proses pemberian gelar kehormatan tidak berjalan secara transparan dan tidak melibatkan guru besar.
Hal tersebut memunculkan pertanyaan baik dari dosen maupun guru besar tentang mengapa Nurdin Halid bisa mendapatkan Gelar Doktor Honoris Causa. “Di situ kami melihat bahwa secara track record pun juga Nurdin Halid ini tidak terlalu berprestasi ketika dia menjadi ketua PSSI kayak kita tahu ada beberapa catatan kritis saat dia menjadi ketua PSSI dan disitulah kemudian saya mencoba menelusur lebih jauh lagi. Selain tidak transparan tadi saya melihat sepertinya ada obral gelar Doktor Honoris Causa,” imbuhnya.
Tanggapan dari Rektor Terkait Obral Honoris Causa
Fatur Rokhman selaku Rektor UNNES menanggapi dari sisi linguistik baik di Indonesia maupun di belahan dunia, tidak ada yang disebut obral-obral. Menurutnya teknologi yang benar adalah gelar penghormatan, teknologi yang tepat adalah anugerah kehormatan.
“Apalagi perguruan tinggi negeri bahwa dasar yang digunakan adalah Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Permenristekdikti) dalam pemberian anugerah yaitu Permenristekdikti nomor 65 tahun 2016. Di sana disebutkan bahwa perguruan tinggi dapat memberikan gelar Doktor Honoris Causa dengan persyaratan yang telah ditentukan,” tuturnya.
Fatur Rokhman juga mengungkapkan bahwa pemberian gelar Doktor Honor Causa kepada Nurdin Halid atas usulan senat UNNES yang didasarkan atas rekomendasi PSSI dan rekomendasi Koperasi Indonesia. “PSSI memberikan rekomendasi kepada UNNES tentang pemberian gelar Doktor Honor Causa kepada saudara Nurdin Halid, nah kemudian dikaji PSSI itu oleh program studi yang terkait. kemudian direkomendasi lagi oleh Koperasi Indoneisa,” jelasnya.
Rina Indiastuti selaku Rektor Unpad juga mengonfirmasi bahwa obral pemberian Honoris Causa Doktor kehormatan tidaklah oleh perguruan tinggi. “Mungkin perlu nanti dilengkapi oleh berbagai data contohnya saja Unpad sudah 63 tahun berdiri itu kami baru kasih 8 Doktor Kehormatan dan sebagian itulah bagi dari luar negeri,” tuturnya.
Rina Indiastuti juga mengungkapkan yang perlu disikapi ialah hikmah dari sini yaitu mengenai pembuatan karya. “Karena kampus mempunyai otonomi akademik, kalau sudah lewat pada mekanisme dan standar mutu yang ada kalau saya sih tidak menyimpang dari peraturan yang diatur oleh Permenristekdikti. UNPAD tidak pernah punya masalah dengan pemberian Doktor Honoris Causa,” ujarnya.
Sementara itu, dari sisi UNNES jika dilihat dari peraturan rektor UNNES nomor 21 tahun 2018 tentang pedoman pemberian gelar Doktor kehormatan, disebutkan bahwa salah satu syaratnya bahwa dia memiliki jasa atau karya yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan olahraga.
Pasal 3 disebutkan persyaratan dasar bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kepribadian dan citra publik yang baik yang, dan memiliki moral etika dan kepribadian yang baik. Dalam hal ini Pram mengatakan bahwa mahasiswa UNNES sudah cukup cerdas untuk dapat melihat citra Nurdin Halid sehingga dalam kacamata mahasiswa, rektor telah melanggar aturan yang dibuat rektor sendiri. “Mahasiswa udah cukup cerdas untuk bisa melihat apa namanya citra dari pak Nurdin Halid. Sehingga mereka bersikap kritis terhadap pemberian gelar Doktor Honoris Causa untuk Pak Nurdin Halid. Dalam kacamata mereka telah melanggar aturan yang dibuat oleh pak rektor sendiri,” ungkapnya.
Kampus Dianggap Salah Tafsir Perihal Permenristekdikti
Ubaedillah Badrun selaku pengamat politik serta Dosen UNJ berpendapat bahwa Peraturan Menteri nomor 65 tahun 2016 dimana otonominya memang diberikan kepada kampus namun menurutnya kampus yang seolah salah menafsirkan Permenristekdikti sehingga hal tersebut yang menjadi persoalan. “Misalnya, tafsirnya sangat hegemonik. Oleh elit kampus tidak dilakukan diskusi khusus yang dalam di Senat Universitas. Bahkan cenderung di dominasi oleh segelintir elit Fakultas, segelintir elit Senat Universitas. Kemudian yang kedua, tafsir itu kemudian menjadi dipertanyakan ketika misalnya proses-proses pemberian gelar Doktor Honoris Causa itu justru dilatari oleh pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan elit politik misalnya. Jadi ada pertemuan-pertemuan sebelumnya antara elit kampus dengan elit politik baru kemudian dibawa dihadirkan di dalam 1 Senat Universitas, nah itu prosesnya sangat top down bukan bottom up,” tuturnya.
Ubaedillah menambahkan bahwa Universitas sudah seharusnya untuk melakukan introspeksi sebab pola semacam ini harus dihentikan. Menurutnya itu tidak hanya merusak marwah Universitas, tapi juga merusak masa depan Republik ini. Ia juga mengungkapkan bahwa argumen yang dimunculkan harusnya lebih substantif. “Yang menjadi sangat sensitif bagi publik adalah yang diberikan gelar kehormatan itu adalah mantan narapidana korupsi, ini jangan sampai kemudian menjadi persoalan yang akhirnya rakyat menilai korupsi tidak apa-apa nanti di jadikan gelar kehormatan,” pungkasnya.
Penulis : Salsabilatul Arijah
Editor : Lailatul Nur Aini