Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home LIPUTAN UTAMA

Polemik Bantuan di Masa Pandemi

by LPM Pendapa
2 Februari 2021
12 min read
gambar: Aliansi Dewantara Bersuara

gambar: Aliansi Dewantara Bersuara

“Kalau mahasiswa, saya sendiri juga memahami kesulitan mahasiswa untuk membayar SPP, apalagi saat pandemi. Tetapi ini kan kewajiban, kalau mereka ingin memperoleh perkuliahan dan sebagainya kan ada kewajiban untuk melakukan pembayaran, ya diupayakanlah. Ya SPP tetap dulu supaya apa, mereka bisa mengikuti transaksi akademik,” pungkas Ki Widodo.

Petisi dari Mahasiswa

Jumat, (15/01/2021) Aliansi Dewantara Bersuara, melalui media sosial Instagram @ust_bersuara, menyebarluaskan petisi dengan tagline Aksi Media UST yang bisa ditandatangani di  bit.ly/AksiMediaUST. Petisi tersebut memuat tuntutan pemotongan biaya kuliah selama masa kuliah daring. Wahid, salah satu mahasiswa UST yang tergabung dalam Aliansi Dewantara Bersuara mengungkapkan tujuan dari petisi tersebut untuk menunjukkan ketegasan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya. Selain itu, dibuatnya petisi ini untuk menekan birokrasi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta agar meninjau kembali perihal pemotongan biaya SPP. “Harapannya akan ada pemotongan seperti di semester kemarin yang 10% dan beberapa bantuan kuota,” tuturnya.

Kemudian pada Kamis, (21/01) Aliansi Dewantara Bersuara mengeluarkan pers rilis melalui media sosial instagram @ust_bersuara. Tertulis di dalamnya, bahwa pers rilis ini ditujukan untuk menanggapi Surat Edaran No. 008/UST/Warek-1/1/2021 dan No. 016/UST/Warek-2/1/2021 yang dikeluarkan pihak universitas pada (19/01). Menurut Wahid, pers rilis dibuat sebagai bentuk protes secara tertulis untuk memperjelas poin-poin tuntutan. “Kami berharap birokrasi bisa baca itu dengan cermat, teliti, dan dihayati sehingga ruang-ruang itu bisa dibicarakan lebih demokratis lagi, bukan sekedar melempar surat edaran,” tegasnya.

Mengacu pada dikeluarkannya pers rilis tersebut, terdapat 383 responden yang sudah mengisi dan menghasilkan presentase 46,9% dari pendapatan orang tua sebesar Rp 0-1.000.000, 32,1% dari pendapatan Rp 1.000.000-2.000.000, dan 11,7% dari pendapatan Rp 2.000.000. Sementara itu dalam pers rilis juga menginformasikan keluh kesah mahasiswa yang belum membayar SPP Variabel semester Gasal 2020/2021. Mereka mendapat kesulitan yang lebih besar, yaitu ditangguhkannya pengeluaran nilai mahasiswa melalui portal. Oleh karenanya, dalam pers rilis itu Aliansi Dewantara Bersuara melayangkan beberapa tuntutan, diantaranya:

  1. Meminta pemotongan SPP Tetap sebesar 50%
  2. Dispensasi secara regulasi, SPP Variabel, Sumbangan Tri Darma, SPP Tetap (perjanjian dispensasi tertulis mahasiswa dan birokrasi dan diakomodir lembaga).
  3. Berikan transparasi keuangan pengelolaan kampus.
  4. Hentikan represifitas birokrasi kampus.
  5. Birokrasi dituntut komitmen dengan audiensi yang telah disepakati.
  6. Realisasi 1×24 jam setelah audiensi.
  7. Apabila tuntutan di atas tidak diindahkan maka jangan salahkan kami bila terjadi gelombang kemarahan massa.

Keputusan Kampus dan Sederet Reaksi Mahasiswa

Tak berselang lama setelah petisi tersebar di kalangan mahasiswa, pihak kampus mengeluarkan surat edaran nomor 010/UST/Warek-1/I/2021, 023/UST/Warek-2/I/2021 dan 003/UST/Warek-3/I/2021 tentang bantuan Biaya Heregistrasi Semester Genap tahun Akademik 2020/2021 tentang bantuan potongan SPP tetap sebesar 7,5% tanpa adanya subsidi kuota. Bantuan ini lebih sedikit dibanding bantuan Semester Gasal TA 2020/2021, yaitu potongan biaya SPP Tetap sebesar 10% ditambah subsidi kuota sebesar Rp. 450.000. Keputusan pihak kampus memberikan potongan SPP Tetap sebesar 7,5% ini membuat sebagian mahasiswa mengeluh dan merasa keberatan.

Berkaitan dengan Surat Edaran yang telah dikeluarkan oleh pihak universitas, pada Senin, (25/01) Aliansi Dewantara Bersuara mengeluarkan pernyataan sikapnya. Pernyataan sikap tersebut terdiri dari beberapa poin berikut sebagai berikut:

  1. Meminta pelaksanaan audiensi selambat-lambatnya 2 hari.
  2. Menolak keras pemotongan SPP sebesar 7,5%. Beserta surat edarannya.
  3. Meminta birokrasi untuk melakukan pemotongan SPP Tetap sebesar 50% dengan alasan mahasiswa UST tidak menggunakan fasilitas kampus selama perkuliahan daring dan dikarenakan permasalahan ekonomi yang sedang tidak stabil.
  4. Mendesak kepada birokrasi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa agar tidak menjadikan pembayaran SPP Variabel sebagai syarat dikeluarkannya nilai Semester Gasal 2020/2021.
  5. Meminta birokrasi unruk menerapkan kebijakan dispensasi secara regulasi, SPP Variabel, Sumbangan Tri Darma, SPP Tetap. (perjanjian dispensasi tertulis antara mahasiswa dan birokrasi dan diakomodir dari pihak lembaga).
  6. Melakukan transparansi keuangan pengelolaan kampus.
  7. Hentikan represifitas birokrasi kampus.
  8. Meminta surat balasan ini 1×24 jam.
  9. Meminta peserta yang mengikuti audiensi minimal 20 orang.
  10. Realisasi tuntutan 1×24 setelah audiensi.

Aliansi Dewantara Bersuara kemudian mengadakan konsolidasi pada (29/01) bertempat di Kafe Kebon Laras (Wirosaban,Banguntapan, Bantul). Menurut Wahid, konsolidasi ini dilatarbelakangi oleh keresahan bersama dan dihadiri mahasiswa-mahasiswa dari lima fakultas yang ada di UST. “Ya, terdiri dari lima fakultas. Jadi memang kawan-kawan lumayan proaktif untuk membangun komunikasi di lingkup UST. Jadi, relasinya sudah terbangun walaupun kawan-kawan yang hadir sebenarnya kadang ada yang datang pada saat konsolidasi, tetapi selanjutnya tidak datang dan digantikan dengan kawan yang lain,” jelas Wahid.

Selain itu Wahid juga menjelaskan bahwa konsolidasi ini ditujukan kepada pihak rektorat. “Sebenarnya lebih ke pihak rektorat dalam artian rektor sendiri, warek yang mengurusi keuangan, kemahasiswaan dan sebagainya. Makanya dalam setiap penyampaian aspirasi kita tembak langsung ke birokrat,” ungkapnya.

Selain mengadakan konsolidasi, pihak Aliansi Dewantara Bersuara juga telah mengajukan permintaan audiensi dengan pihak Rektorat UST. Namun dari Aliansi Dewantara Bersuara mengungkapkan bahwa permintaan pengajuan audiensi tersebut ditolak karena pihak bagi Rektorat UST yang mengacu pada statuta hanya mengakui lembaga yang memiliki legitimasi seperti MMU, MMF, dan sejajarnya. “Jadi, menurut mereka apapun nama aliansi yang kita bentuk itu illegal dan mereka tidak akui. Mereka mengacu pada statuta,walaupun kami sudah jelaskan tetap akan fleksibel,” pungkas Wahid.

Pada postinganInstagram @ust_bersuara mengenai konsolidasi akbar Selasa, (26/01) juga menegaskan perlu adanya pengawalan terhadap pemotongan biaya SPP. Sesuai dengan poin nomor 1 dalam pers rilis, tertulis bahwa tuntutan pemotongan biaya SPP sebesar 50%. Wahid menambahkan bahwa bukan nominal pemotongan SPP saja yang menjadi sorotan, namun juga proses pembahasan dan pengambilan keputusan universitas yang harus melibatkan mahasiswa. “Sebenarnya ini bukan hasil tapi reaksi dari universitas dengan adanya pemotongan 7,5%. Sebenarnya bukannya tidak bersyukur, tetapi proses yang demokratis harusnya dibicarakan dulu sama mahasiswa, baiknya bagaimana, mau potong berapa persen, apa alasannya, bagaimana situasi dan kondisi kampus, harusnya dibicarakan lebih awal. Kita bukan menolak nominalnya tapi prosesnya, harus libatkan mahasiswa dalam pembahasan itu supaya kita objektif dalam melihat kondisi bukan hanya main potong saja,” tegasnya.

Tim PENDAPA menghubungi beberapa mahasiswa dari berbagai fakultas melalui aplikasi WhatsApp. Mereka mengungkapkan keresahan, kekecewaan, dan keberatannya mengenai keputusan kampus yang hanya memberikan potongan SPP sebesar 7,5%. Mahasiswa berharap jika pemotongan SPP yang ditetapkan adalah 7,5%, setidaknya pihak kampus memenuhi kuota internet sebagai kebutuhan utama dalam pembelajaran daring.

“Potongan 7,5% bagi mahasiswa yang merantau hanya cukup untuk makan tiga hari saja. Saya sangat berharap ada pemotongan setidaknya 40-50%,” ungkap April mahasiswa FKIP.

Salah satu alasan mahasiswa merasa keberatan ialah mereka merasa tidak pernah menggunakan fasilitas kampus selama daring. Hal ini diungkapkan oleh Diva, mahasiswa Psikologi, “Ini tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan, karena kami tidak menggunakan fasilitas kampus,” tuturnya.

Tanpa adanya subsidi kuota internet sebagai kebutuhan utama dalam pembelajaran daring, mahasiswa harus memenuhi kebutuhannya secara mandiri dalam perkuliahan termasuk kebutuhan untuk praktik. Pandemi membuat sebagian besar keluarga mengalami kemerosotan ekonomi. Bagi Diva, hal itu akan memberatkan mahasiswa.“Seharusnya subsidi kuota internet diadakan oleh pihak kampus karena sebagian mahasiswa terbanyak menggunakan kuota internet. Kasihan mahasiswa yang orang tuanya memiliki finansial yang tidak stabil,” jelasnya.

Selain itu, tidak semua mahasiswa dapat mengakses bantuan kuota internet yang digaungkan pemerintah untuk menunjang pendidikan daring. Terlebih lagi, menurut April penggunaannya yang dirasa rumit. “Percuma kuotanya susah untuk dipakai,” ungkapnya.

Banyak mahasiswa yang menyayangkan hal ini. Mereka menganggap pihak kampus selalu mengambil keputusan sepihak tanpa ada pertimbangan suara dari para mahasiswa. “Seharusnya pihak kampus melakukan mediasi secara live di setiap sosmed (jejaringnya) dan lakukan diskusi langsung dengan mahasiswa bahkan semua yang terlibat,” ungkap Ekyeen, mahasiswa Fakultas Psikologi.

Mahasiswa berharap pihak universitas memberikan kebijakan yang bisa meringankan beban mahasiswa di masa pandemi ini. Mulai dari pemotongan biaya SPP, subsidi kuota dan pembuatan sistem perkuliahan yang efektif bagi semua civitas akademika. “Kita tidak menggunakan fasilitas kampus maka diharapkan pihak kampus dapat mempertimbangkan biaya perkuliahan bahkan waktu perkuliahan, proses KBM, UTS hingga UAS serta model perkuliahan yang diberikan harus sesuai situasi,” ungkap Ekyeen menambahi.

Pernyataan Pihak Universitas

Ditemui oleh Tim PENDAPA di Gedung Pusat UST Kamis, (28/01), Ki Widodo Budhi selaku Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UST memberikan tanggapan bahwa dirinya telah mengetahui adanya petisi tersebut dan menganggapnya ilegal. Menurutnya, 383 responden yang mengisi petisi tidak mewakili keseluruhan mahasiswa UST dengan jumlah kurang lebih 10.000 mahasiswa. “Apakah respondennya mewakili seluruh mahasiswa UST? Apakah pengambilan data secara acak? Apakah responden yang diminta mengisi, apakah representatif? Apakah pengambilan sampelnya random? Karena syarat statistik harus dipenuhi, supaya kesimpulannya bisa digeneralisasi. Dari 10.000 mahasiswa UST yang mengisi hanya 383, apakah memenuhi 10 persen? Tidak ada. Makanya ini tidak mewakili populasi,” Tegas Ki Widodo.

Mengenai beredarnya isu penolakan permintaan audiensi oleh Aliansi Dewantara Bersuara, Ki Widodo membenarkan bahwa pihak rektor sudah menerima surat berisi permintaan audiensi pada (17/01/21) dan ditolak. Alasan penolakannya disebabkan Aliansi Dewantara Bersuara tidak mempunyai legalistending, meskipun yang tergabung di dalamnya ialah mahasiswa UST. “Pak Rektor tidak bersedia menerima karena apa, karena ini secara legalistending tidak punya.  Meskipun ini mahasiswa UST namun secara organisatoris tidak punya legalistending. Yang punya legalistending adalah MMU, MMF, IMPS, dan UKM. Makanya Pak Rektor tidak mau. Karena apa? Kalau Pak Rektor mau, nanti setiap ada mahasiswa yang protes selalu minta audiensi. Ya Pak Rektor setiap saat melayani audiensi sehingga Pak Rektor tidak bersedia,” jelas Ki Widodo.

Selain itu, Ki Widodo juga membenarkan tentang adanya pemotongan biaya SPP Tetap sebesar 7,5% dan itu tidak ada hubungannya dengan beredarnya petisi dikalangan mahasiswa UST. “Tanpa permintaan dari pihak mana pun, dari kampus sudah memperpanjang karena UST juga tahu bahwa pandemi ini memang berdampak ke segala bidang, bukan hanya mahasiswa saja, tetapi dosen juga. Dosen pun juga mengalami kesulitan,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa adanya pemotongan biaya SPP berdasarkan pertimbangan dalam rapat pimpinan universitas, konsultasi dengan yayasan, dan memerhatikan banyaknya mahasiswa yang belum membayar SPP Tetap. “Jadi diupayakan supaya SPP Tetap dibayar dulu, karena jika SPP Tetap terbayar maka mereka tercatat di pangkalan data Dikti. Mereka bisa KRS, lalu bisa mengikuti perkuliahan. Tetapi jika tidak membayar SPP Tetap mereka tidak tercatat di sana, jadi nanti kosong, karena setiap akhir semester kita harus laporan ke PD Dikti,” imbuh Ki Widodo.

Selain itu, Ki Widodo juga menjelaskan mengenai bantuan kuota. Menurutnya pihak UST pada semester gasal 2020/2021 telah memberikan bantuan kuota sebesar Rp. 450.000,00 serta potongan SPP Tetap sebesar 10%. Sedangkan semester genap 2020/2021 ada bantuan kuota dari pemerintah sehingga UST tidak lagi memberikan bantuan kuota. “Mereka dapat dari pemerintah karena terdaftar sebagai mahasiwa UST, nanti dobel,” tegasnya. Ki Widodo juga menyampaikan bahwa semester genap 2020/2021 jika tidak ada bantuan dari pemerintah maka pihak UST akan mengupayakan untuk mengadakan bantuan kuota.

Mengenai transparansi anggaran, ia mengatakan bahwa itu merupakan urusan rumah tangga UST sehingga mahasiswa tidak perlu menanyakan. Menurutnya, itu akan menjadi laporan tahunan Rektor yang selanjutnya dimuat di mars media sebagai wujud transparansi kepada masyarakat. “Transparansi itu nanti laporan tahunan Rektor kepada masyarakat yang dimuat di mars media di hadiri oleh Kopertis, BAN, pemangku kepentingan, dihadiri oleh Pemkot, mitra-mitra kerja, lalu dimuat di mars media. Itu wujud transparansi pada masyarakat. Untuk masalah audit, UST diaudit oleh audit eksternal. Jadi setiap akhir tahun diaudit eksternal. Pendapatannya berapa, dipakai untuk apa saja, berapa sisanya, dll. Ada, tetapi mahasiswa tidak boleh. Karena apa? tidak ada fungsi mahasiwa sebagai auditor. Fungsi lembaga kemahasiswaan juga tidak ada fungsi auditor,” Jelas Ki Widodo.

Ia berpesan agar keluhan disalurkan melalui lembaga resmi, supaya lembaga resmi yang melakukan audiensi kepada pihak kampus. Selain itu, mahasiswa diminta untuk melaksanakan kewajibannya sebagai mahasiswa yaitu untuk melakukan pembayaran biaya perkuliahan. “Kalau mahasiswa, saya sendiri juga memahami kesulitan mahasiswa untuk membayar SPP, apalagi saat pandemi. Tetapi ini kan kewajiban, kalau mereka ingin memperoleh perkuliahan dan sebagainya kan ada kewajiban untuk melakukan pembayaran, ya diupayakanlah. Ya SPP tetap dulu supaya apa, mereka bisa mengikuti transaksi akademik,” pungkasnya. [P]

Reporter : Nunung, Aisyah, Cris A, Nacida, Moh. Dedy S
Penulis : Salsa, Triana, Rizqika
Editor : Arif Eko Widodo

Tags: pandemipemotongan sppseruan aksi
ShareTweetSendShare

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA