Cakra Dewantara, Sahabat Museum Dewantara Kirti Griya, dan Paguyuban Putra Wayah Pamong mempersembahkan Jagongan Merdeka dalam rangka Hari Bakti Tamansiswa, Hari Pendidikan Nasional, dan Hari Ulang Tahun ke-50 Museum Dewantara Kirti Griya pada Rabu (29/4). Diskusi daring sesi ke-2 ini mengangkat tema “Gagasan dan Praktik Ajaran Ki Hadjar Dewantara: Jalan Meluhurkan Kebudayaan Bangsa” yang fokus pada Titik Temu Pengalaman Empiris dengan Ajaran Ki Hadjar Dewantara.
Diskusi disiarkan secara live di media sosial Facebook serta aplikasi Zoom dan menghadirkan narasumber Ratna Saktimulya, Kaprodi Sastra Jawa UGM, Ki Priyo Dwiarso Ketua Badan Khusus Taman Kesenian, Ki Nanang Bagus Subekti, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), dan Cak Lis Ketua Laboratorium Sariswara.
Diawali Ki Priyo Dwiarso, ia memaparkan seni dan budaya yang tercermin pada Sariswara. Menurutnya Sariswara adalah jabaran dari Sastra Gendhing untuk siswa yang diambil dari keluhuran Ilahi dalam bentuk ciptaan-Nya. Sebagaimana yang diambil Sultan Agung untuk kerabat Mataram, yaitu mengambil keluhuran dan keindahan Ilahiyah—baik berwujud audio atau visual—yang dapat dirasa oleh lahir dan batin. Keindahan seni budaya inilah pangkal muasal pembentukan karakter.
Melalui Sariswara Ki Hadjar membentuk karakter anak yang harmonis dan indah sehingga mereka mampu beretika dan bernilai estetika. Semua itu akan tercapai melalui penjabaran Ki Hadjar yang terangkum dalam tiga pokok pola, yaitu Wirogo, Wiroso, dan Wiromo. Menurutnya, Wirogo merupakan pola keindahan dalam diri yang ditangkap dengan panca indra. Wiroso adalah keindahan yang ditangkap secara batin oleh perasaan, yang kemudian menimbulkan rama (Wiromo: red) atau budi pekerti (perilaku) yang berirama.
Ki Priyo lantas mencontohkan Soekarno sebagai tokoh yang mahir dalam seni dan budaya yang tentu juga berbudi pekerti dan berperilaku apik sehingga ia terasa harmonis. Bung Karno, menurut Ki Priyo, tak hanya pandai membuat puisi, naskah teater, menari tarian Jawa, ataupun tarian wayang, melainkan ketika ia berbicara pun, Wiromo dan Wiroso-nya selalu ada bahkan tertata baik dan menarik. Kecintaan Soekarno kepada rakyatnya juga dinilai tulus sampai ia wafat.
Jika Wirogo, Wiroso, Wiromo dibentuk secara benar sesuai dengan apa yang diambil dari Sultan Agung bahwa keindahan Ilahiyah harus “ditempelkan” secara praktik—dalam hal ini seni budaya—maka tujuan itu akan tercapai.
“Karena dalam seni budaya kita sudah ada aturan-aturannya. Ya tari, ya lukis, ya menyanyi, ya karawitan. Itu akan membentuk Wirama–wirama yang bagus,” ujar Ki Priyo.
Tak hanya itu, Ki Priyo menceritakan peristiwa ketika Ki Hadjar Dewantara bersinggungan dengan pendidikan reformis. Di mana pendidikan Eropa yang demikian membuat Ki Hadjar terkejut akibat menemukan ajaran nenek moyang leluhur Jawa Nusantara yang ternyata dipelajari di sana dan bahkan menjadi ajaran metode baru.
Ajaran Tut Wuri Handayani yang sudah ada sejak lama di Indonesia, telah menjadi metode ajaran baru di Eropa. Bahkan sebelum perang Dunia I, metode itu disebut dengan istilah ‘restorasi pendidikan’. Setelahnya, menurut cerita, banyak lahir pendidikan merdeka Montessori dan sekolah dengan metode dolanan yang memerdekakan siswa.
Meski demikian Ki Priyo melihat ajaran yang sebenarnya sudah dirangkum oleh Ki Hadjar dalam sistem among yang tentu lebih lengkap dari apa yang disampaikan pembaharu-pembaharu reformis tersebut. Pendidikan restorasi sendiri ia ungkapkan dengan pendidikan yang memperhatikan apa keperluan siswa secara buttom up, bukan top down.
“Karena top down berarti guru atau dosen mengajar secara otoriter. Siswa harus persis sama dengan guru,” terang Ki Priyo.
Bergeser dari sejarah masa lalu, Ki Priyo menyinggung keadaan dasawarsa ini di mana Indonesia kembali ke dalam metode top down. Hal itu akibat pengaruh kebijakan pendidikan yang selalu berubah-ubah mengikuti pergantian Menteri. Alhasil, wacana bapak pendidikan nasional yang memerdekakan lahir batin dan tenaga mahasiswa kian menjauh. Kondisi tersebut disebutnya sebagai euforia demokrasi. Ki Priyo lantas melihat, apa yang terjadi di silabus kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) secara nasional yang sekarang banyak diikuti sebetulnya hanya proyek-proyek temporer saja. Seperti Kurikulum 2013 (K-13) dan lain-lain yang bahkan direvisi macam-macam agar lebih berkarakter.
“Ini belum sesuai dengan yang digariskan oleh bapak pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, yaitu berupa buttom up. Memperhatikan talenta sang anak untuk berkembang, karakternya. Kan hanya kognitifnya saja (kurikulum sekarang: red),” pungkas Ki Priyo.
Pengalaman empiris tentang ajaran Tut Wuri Handayani dipaparkan lebih lanjut oleh Ratna Saktimulya. Ia berujar bahwa ajaran Tut Wuri Handayani lebih kepada tindakan memahami dan mengarahkan anak didik, yaitu dengan cara memahami karakter anak lebih dalam dengan pemahaman yang benar. Selain itu, pamong juga harus memberi pengaruh agar anak berbudi pekerti sehingga menjadi manusia yang selamat lahir batinnya. Ia lalu menunjukkan beberapa buku yang mengajarkan bagaimana Tut Wuri Handayani memiliki ajaran yang lebih dalam. Salah satunya, dalam buku Serat Sotya Rinonce yang memaparkan 44 pelajaran yang sebaiknya ditanamkan kepada anak-anak.
“Ojo bosenan (jangan mudah bosan), kemudian harus bisa mengendalikan diri, bisa juga nanti melalui tembang-tembang,” pungkas Ratna.
Gagasan Laboratorium Kesenian
Kisah mengenai awal mula dirintisnya Laboratorium Sariswara diceritakan oleh Cak Lis. Ia menyampaikan temuan tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara di buku pendidikan yang ternyata merujuk pada metode Sariswara. Setelah digali lebih jauh, metode itu ternyata berkaitan erat dengan tulisan-tulisan lain milik Ki Hadjar yang tersebar.
Tiga sistem yang digagas Ki Hadjar itu adalah Metode Paguron, Sistem Among, dan Metode Sariswara. Di balik Metode Sariswara pun menurutnya terdapat lagi gagasan besar yang berkaitan dengan kesenian. Bagaimana kesenian membentuk watak dan karakter.
Kemudian ia bercerita perihal temuan tulisan Ki Hadjar yang mendukung dirintisnya laboratorium kesenian. Ketika Cak Lis membaca di Majalah Pusara edisi bulan Mei dan Juni 1956, ditemukan bahwa Tamansiswa pernah melakukan kongres pendidikan kesenian. Di kongres itu pula terdapat pemunculan laboratorium kesenian.
Dari sini kemudian Cak Lis beranggapan bahwa apa yang dilakukannya (merintis laboratorium kesenian: red) memang sudah memiliki benang merah dengan gagasan-gagasan para pinisepuh Tamansiswa dahulu. Menurutnya, Majalah Pusara harus lebih digali lagi oleh para pamong atau pemangku kepentingan Tamansiswa.
“Meski sayangnya kongres kesenian yang hanya sekali dan pertama kali itu sepertinya hilang begitu saja. Di Tamansiswa pun tidak pernah ada lagi pemunculan gagasan-gagasan,” sesalnya.
Isi kongres banyak memaparkan informasi yang lengkap. Semua teori-teori dan gagasan-gagasan tentang kurikulum pendidikan yang Cak Lis temukan dalam Majalah Pusara benar-benar digagas, dimunculkan, dan ditulis secara rinci oleh para pamong yang ikut kongres pada saat itu.
Selain penemuan-penemuan yang telah ia sampaikan, Cak Lis mengeluhkan kendala yang sempat ia alami selama mengurus laboratorium kesenian. Ia sempat merasa pesimis pada pemangku kepentingan pendidikan dan guru-guru seni budayanya sendiri. Ia melihat mereka masih belum yakin bahwa jalan kesenian yang ditempuh Ki Hadjar adalah cara paling lugas dan lengkap untuk mendidik atau membentuk karakter.
Lebih lanjut, terdapat jenis kesenian yang hilang karena anak tidak diajari lagi kesenian seperti halnya Jamuran oleh orang tua mereka. Bahkan ada kemungkinan orang tua anak tidak mengetahui lagi kesenian masa lalu. Bukti nyata ini terlihat tatkala ia melakukan gerakan kesenian Sariswara di dalam mal-mal dengan cara khas yang tidak hanya sekadar nembang (menyanyi: red) dan menari, melainkan dengan penggabungan pemilihan bahasa yang indah, cerita, dan lagu. Ternyata gerakan itu mendapat antusiasme dari anak-anak.
“Padahal menurut Ki Hadjar kita harus selalu kontinu. Meneruskan apa yang sudah baik agar tidak hilang dan kita kembangkan lagi,” pungkas Cak Lis
Surutnya Sekolah Tamansiswa
Di lain sisi, Ki Nanang Bagus Subekti menyoroti adanya kesurutan sekolah-sekolah Tamansiswa. Menjadi keprihatian bersama menurutnya ketika banyak pihak telah memperjuangkan teori dan ajaran Ki Hadjar lantas kesulitan untuk menunjukkan pada publik bukti empiris atas keberhasilan sekolah Tamansiswa.
Mengantisipasi terjadinya kesurutan itu, Ki Nanang menganggap perlu sebuah gagasan di bidang media guna mempromosikan ajaran Tamansiswa. Dengan adanya media yang dimiliki oleh Tamansiswa, hal demikian akan membuat publik teringat dengan konsep Ki Hadjar.
“Tamansiswa, mohon maaf webnya saja sudah macet. Lihat Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama: red) dan yang lain-lain. Mereka punya Youtube channel, mereka punya website yang bagus, mereka punya tayangan,” paparnya.
Merespon kurikulum pendidikan yang berubah-ubah, sebagai dekan FKIP, Ki Nanang berujar bahwa ada ranah yang tidak dapat dipungkiri atas peraturan pemerintah. Menurutnya, ketika kurikulum berubah-ubah, pendidikan tidak akan dapat mencapai titik yang berhasil “memetik buahnya”.
Di sisi lain, tentang kesenian dan ajaran Tamansiswa di UST, melalui Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) FKIP, ada satu mata kuliah kesenian yang wajib diambil oleh mahasiswa. Melalui mata kuliah itu, diharapkan calon guru lulusan UST mampu untuk bisa menari dan bisa bermain gamelan. Tak lupa, Ki Nanang mengatakan ada penggarapan tembang dolanan anak yang bekerja sama dengan Cak Lis.
Ihwal tujuan pendidikan untuk membentuk jati diri atau karakter bangsa, Ki Nanang berkaca pada era milenial saat ini. Dengan koneksi internet, kebebasan anak-anak yang kini telah mampu mengoperasikan gawai, bermain aplikasi Tik Tok, hingga menonton YouTube secara tidak terkontrol akan membuat mereka tidak lagi tertarik pada mainan dan kesenian zaman dahulu. Apalagi jika tidak dikenalkan. Ia juga beranggapan kemungkinan orang-orang tua dari anak tersebut tidak memiliki pengalaman dalam mengenalkan mainan dan kesenian tradisional.
“Mungkin iya. Tetapi karena kondisi saat ini, orang tua (yang demikian: red) juga melupakan satu konsep yang bagus untuk mendidik anak,” pungkasnya.
Penulis: Laeli Choerun Nikmah
Editor: Ade Tegar Irsandy