Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home LIPUTAN UTAMA

Feminisme dari Perspektif Psikologi di Era Pandemi

by Theresia Priska Alfeyans
10 Maret 2021
6 min read
Feminisme dari Perspektif Psikologi di Era Pandemi

Sumber : tangkapan layar saat seminar

Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), mengadakan Webinar Nasional untuk menyongsong Hari Perempuan Internasional dengan tema “Mengkaji Feminisme dari Perspektif Psikologi” pada (7/3). Webinar yang terbuka untuk umum ini dilaksanakan melalui media Zoom Meeting dengan menghadirkan dua narasumber diantaranya Ki Sulistyo Budiarto selaku dosen Fakultas Psikologi UST dan Ester Lianawati selaku writer and hypatia Pusat Penelitian dan Kajian Psikologi Feminis. Di pandu oleh Mahasiswa/i Psikologi UST yaitu Agung Rahmad Widiyanto sebagai MC serta Fauziah Oktharya Putri sebagai Moderator.

Potret Ketimpangan Gender Saat Pandemi

Webinar diawali oleh Ki Sulis selaku dosen Fakultas Psikologi UST yang mengungkapkan bahwa terkait ketimpangan gender saat pandemi, ia melihat dari perspektif  ekonomi, pekerjaan, dan pendidikan bahwasannya dalam bidang ekonomi sebelum pandemi hanya 52% perempuan yang diperkerjakan dan menurutnya hal tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase untuk laki-laki yaitu 72%. Ki Sulis berujar bahwa hal Ini menunjukkan akses perempuan pada bidang ekonomi mengalami ketimpangan dibandingkan dengan laki-laki. “Pada saat pandemi ini dampaknya akan makin terasa karena kelompok perempuan ini biasanya berada pada sektor-sektor pekerjaan yang sifatnya informal seperti buruh harian, dampaknya saat perempuan tidak bisa mengakses pada bidang ekonomi ini adalah ketergantungan terhadap laki-laki menjadi sangat tinggi,” Jelas Ki Sulis.

Selain itu di bidang pendidikan Ki Sulis mengungkapkan bahwa dampak dari penutupan sekolah pada akhirnya mengalihkan tanggung jawab pendidikan anak kepada keluarga, terutama kepada perempuan. “UN Women mencatat bahwa 39% perempuan dan 29% laki-laki di Indonesia telah menghabiskan banyak waktu untuk mengajar anak di rumah. Mayoritas pembelajaran dirumah yang mendampingi adalah Ibu dibandingkan dengan Ayah,” tutur Ki Sulis.

Ki Sulis juga menambahkan bahwa studi yg sama menunjukkan 19% perempuan di Indonesia mengalami peningkatan intensitas pekerjaan rumah tangga tidak berbayar dibandingkan dengan 11% untuk laki-laki. Menurutnya dari persentase tersebut menunjukkan perempuan di masa pandemi memiliki beban ganda. “Dilihat dari ke 3 bidang itu memang kemudian ada potret ketimpangan saat pandemi,” Jelas Ki Sulis.

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

Menurut Ki Sulis dari data dari Lembaga Bantuan Hukum Apik (LBH) Apik yang melaporkan pada periode 16 Maret-23 November 2020 terhimpun data kasus kekerasan terhadap perempuan saat pandemi mengalami peningkatan. Menurutnya jika mengacu pada pendekatan psikologi, budaya patriarki itu diwariskan, dipelajari, dan disosialisasikan kepada lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, budaya, agama dan media baik itu media cetak, elektronik, maupun media sosial.

“Salah satu yang menjadi latar belakang atau akar permasalahannya adalah perempuan hari ini dituntut untuk menjalankan peran domestik dan publik sekaligus. Kalau dilihat dari angka pendidikan, saya kira antara laki-laki dan perempuan, laki-laki subjeknya tidak terlalu tinggi. Tetapi jika dibeberapa daerah yang lain masih ada, tetapi ketika kemudian perempuan memiliki pendidikan yang tinggi memiliki karir, jabatan yang tinggi artinya bahwa perempuan mendapatkan tempat dengan status di muka publik, tetapi disatu sisi ada tuntutan untuk kewajiban tugas-tugas yang sifatnya domestik sehingga ini menimbulkan beban ganda bagi perempuan,” jelas Ki Sulis.

Psikologi Feminis

Kemudian webinar dilanjutkan oleh Ester Lianawati selaku writer and hypatia Pusat Penelitian dan Kajian Psikologi Feminis, ia mengungkapkan bahwa Psikologi Feminis itu lahir sebagai penolakan. “Jadi penolakan terhadap pandangan dunia medis tentang tubuh dan otak perempuan,” Ungkap Ester. Menurut pemaparannya waktu itu ada seorang Dokter yang mengatakan bahwasannya ada satu penyakit yang hanya diderita oleh perempuan. Misalnya ketika perempuan belajar dia akan mengalami yang namanya anorexia scholastica, yang tergolong anemia, ngantuk, sakit kepala, kegilaan, dan lain-lain. “Scholastica berarti apabila seorang perempuan kebanyakan belajar dia akan menderita penyakit ini. Ini terjadi pada tahun 1890-an pada saat itu juga menstruasi perempuan itu dianggap sangat kotor, memalukan, tabu, dsb,” tutur Ester.

Selain itu Ester juga menuturkan bahwa penolakan pandangan dan penanganan terhadap depresi dan histeria bahwa pada saat itu perempuan-perempuan yang mengalami depresi akan diterapi dengan cara tidak boleh keluar rumah, mereka akan diasingkan, sedangkan jika laki laki mengalami depresi mereka akan cenderung disuruh keluar untuk melakukan aktivitas yang maco atau kelaki-lakian, seperti naik kuda dan bersosialisasi dengan teman-teman mereka. “Ada diskrminasi untuk penanganan kasus-kasus depresi dan histeria, karena perempuan yang mengalami histeria dianggap sebagai gila,” tuturnya. Ester juga mengimbuhkan bahwa dari adanya penolakan inilah pandangan-pandangan dari beberapa psikoanalis menegaskan bahwa sebetulnya bukan perempuan-perempuan ini yang sakit tetapi budaya patriarki.

Ester kemudian menjelaskan jika pada akhirnya Psikoanalis dan para Dokter melakukan aksi berupa penelitian medis dimana perempuan dijadikan sebagai subjek penelitian dan mereka melakukan dekonstruksi atau membongkar psikoanalisis dan melakukan rekonstruksi atau membangun kembali psikoanalisis dari perspektif feminis. Ia mengimbuhkan mengenai berkembangnya penelitian-penelitian psikologi, menurutnya dilihat dari yang pertama tentang pengalaman perempuan yang tidak dialami oleh laki-laki, kedua yakni dilihat dari perspektif gender, yang akhirnya mulai berkembang menjadi psikologi feminis dan untuk yang terakhir dilihat dari evolusi perkembangan kesamaan otak manusia hingga berkembang menjadi psikologi perempuan. Menurut Ester ketika sudah melibatkan isu gender penamaannya menjadi psikologi gender kemudian berlanjut dengan perkembangan kerjasama antara psikologi dan feminisme yang menjadi latar belakang perkembangan psikologi dengan perspektif femininis yaitu psikologi feminis. “Dari perkembangan psikologi feminis akan dihasilkan yang namanya terapi atau konseling feminis,” jelas Ester.

Ester menuturkan bahwa asumsi dasar psikologi feminis adalah perempuan bisa diterapi jikalau perempuan mengalami gangguan dan akan bisa dipulihkan karena gangguan yang di alami perempuan adalah gangguan psikis, namun demikian dalam gangguan psikis ada banyak aspek sosial yang memengaruhinya. “Sekarang kita berfokus pada korban tetapi kita juga mulai mempertimbangkan untuk memberikan konseling kepada pelaku,” pungkas Ester.

Reporter : Yessi Evitasari
Penulis : Theresia Priska
Editor : Lailatul Nur Aini

Tags: FEMINISMEisuKESETARAANpandemiPEREMPUANPSIKOLOGIpsikologigender
ShareTweetSendShare

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA