• PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL
No Result
View All Result
Home CERPEN

Tersisih

by Triana Wiji Astuti
24 Desember 2020
6 min read
Tersisih

Kedai yang berada di ujung gang mulai ramai, padahal pagi belum tinggi dan remahan embun masih berserak di atas dedaunan. Ayam jagopun masih rajin membangunkan para manusia yang jam tidur malamnya diambil kopi.

Rudin menyingsingkan kemeja putihnya lalu memakai sepatu hitam yang pernah ia pakai di acara wisuda jenjang sarjana. Setelah rapi menali sepatu, Rudin menggendong tas hitam yang berisi doa dan harapan keluarganya di kampung. Tumpukan kertas-kertas lamaran kerja sudah disiapkannya begitu matang. Rudin tak pernah mengingat tentang puluhan penolakan yang perusahaan berikan, karena baginya hal yang menyakitkan cukup dijadikan cambukan.

“Nasi uduk sama teh hangat satu Ce,” ucap Rudin seraya duduk di depan aneka gorengan dan jajanan pasar yang masih hangat. Rudin mencomot tahu isi dan melahapnya.

Kedai ini memang selalu ramai di pagi hari. Selain harganya yang relatif miring dan apa saja tersedia, memang hanya kedai ini saja yang beroperasi sepagi ini. Jam lima dini hari, Cece, si janda anak dua yang berbadan gendut pemilik kedai itu memang sangat rajin mempersiapkan dagangannya. Sehinga para pekerja yang harus berangkat pagi seperti tukang ojek, tukang sapu jalan, tukang sampah sampai yang tidak ada kerjaanpun akan selalu mampir ke kedai ini untuk sarapan atau sekadar ngopi dan main catur sambil membahas acara pertandingan sepak bola tadi malam.

“Belum dapat kerjaan, Din?” tanya Cece sambil meletakkan sepiring nasi uduk dan segelas teh hangat.

“Belum Ce, sulit sekali mencari pekerjaan di ibukota,” Rudin tersenyum pias.

“Tak apa, yang penting terus berusaha,” ucap Cece sambil menepuk bahu Rudin.

“Iya Ce, mau pulang malu sama keluarga di kampung,” jawab Rudin sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

“Ya sudah aku tinggal dulu ya, masih banyak pelanggan ini. Pesanku hidup di ibukota itu harus keras dan tahan banting, kalau kau lembek tak akan lama umurmu,” Cece berlalu untuk meladeni pesanan kopi dari tukang ojol yang wajahnya terlihat bahagia seperti kebanjiran orderan.

Rudin berjalan keluar gang menuju jalan besar. Dari sana ia akan menaiki mikrolet, angkutan umum yang tidak ber-AC dan murah meriah. Tentu saja mikrolet ini sangat digandrungi oleh ‘orang-orang kecil’ yang tidak memiliki kendaraan pribadi sepertinya. Belum banyak penumpang, karena hari memang masih pagi. Rudin duduk di sebelah kakek tua yang membawa ayam jago di keranjang ayam. Di hadapannya ada seorang ibu yang membawa banyak sayur sambil menggendong putra kecilnya yang masih terlelap.

Bau kas mikrolet mulai tercium ketika mikrolet berjalan menembus pagi yang disesaki oleh harapan-harapan. Rudin menatap lekat seorang ibu yang membawa banyak sayur serta menggendong putranya itu dengan saksama. Mata ibu itu sayup-sayup mengantuk, angin dari jendela mikrolet membelai matanya yang sepertinya kurang tidur tadi malam.

“Drrrrt…drrrrrrttt…….” Rudin meraih saku celana, handphonenya bergetar.

“Nanti jika interviewmu tidak lulus lagi, jangan sungkan mengambil tawaranku, Din!” Suara di seberang telepon itu adalah Beni. Teman lamanya yang sudah bertahun-tahun hidup di ibukota.

“Tidak Ben, terima kasih atas tawaranmu.” Rudin menutup telepon secara sepihak. Sudah puluhan kali semenjak Rudin menginjakkan kaki di ibukota, Beni selalu menawarkan pekerjaan itu dan puluhan kali pula Rudin menolak.

Pukul 12.00 siang. Matahari sedang mekar, semekar-mekarnya. Kemeja putih yang Rudin kenakan sudah lusuh dan bau keringat. Rudin menendang botol bekas yang berada di trotoar, langkahnya gontai, sorot matanya berubah. Perusahaan yang baru saja menginterviewnya menolak dirinya kembali. Tas hitam yang berisi doa dan harapan keluarga di kampung semakin berat ia bawa. Raut putus asa semakin memenuhi hati. Energi positif yang Rudin bawa setiap hari, lari entah kemana. Uang sangu menipis dan hidup terus berjalan tanpa pekerjaan. Hanya ruangan 4×5 meter yang menemaninya tiga hari tanpa pergi kemanapun. Rudin frustasi, menyalahkan takdir, menyalahkan Tuhan dan apapun yang bisa disalahkan olehnya.

Sesekali Cece datang membawakan nasi uduk kesukaan Rudin. Cece kasihan melihat kondisi Rudin yang semakin hari semakin memburuk. Setengah tahun merantau di ibukota dan belum mendapatkan pekerjaan serta mendapat puluhan kali penolakan membuat Rudin semakin temperamental.

“Ben, kali ini aku terima tawaranmu,” ucap Rudin saat menemui Beni di kontrakannya. Beni tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Rudin.

“Sudah lelah rupanya kau mencari pekerjaan yang enak di ibukota ini?” tanya Beni dengan logat batak yang kental. Rudin mematung, Beni mulai menyebul-nyebulkan asap rokoknya. Beni menyodorkan rokok, Rudin menggeleng. “Aku tidak merokok,” ucap Rudin.

“Begini Din, kita ini sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana memang tak menentukan pekerjaan yang baik. Nilai cumlaude yang kau dapat waktu itu bisa apa? Bisa kasih kau makan? Bisa kasih kau uang?” ucap Beni sambil menikmati rokoknya.

“Sudah, tak perlu disesali Din, kita ini kaum tersisih. Mau tidak mau harus menerimanya. Kau boleh merasa susah sebab belum mendapat pekerjaan, tapi yang sudah mendapat pekerjaanpun tidak kalah susah. Kau lihat demo-demo yang sekarang sedang ramai dibicarakan, para pekerja turun jalan dan mogok kerja. Tapi hanya untuk beberapa hari saja, karena mau tak mau mereka harus bekerja kembali untuk makan. Itulah orang kecil. Sudah, yang penting kita mulai kerja nanti sore ya. Kita bertemu di terminal bis jam tiga,” ujar Beni sambil menepuk bahu Rudin. Rudin pasrah dan mengangguk.

“Copet…. Copet…!!” teriak penjual asongan yang melihat aksi Beni mencopet seorang perempuan yang sedang berjalan. Rudin yang kaget dan panik langsung mengikuti Beni yang sudah lari tunggang langgang. Masa langsung berlarian menuju sumber suara. Beni sudah lari sangat jauh, Rudin tak mampu mengejar. Rudin tertinggal, masa semakin dekat dan Beni sudah hilang entah kemana. Rudin tertangkap, masa memukuli dan meneriakinya copet tak henti-henti. Hidungnya berdarah badannya penuh lebam, Rudin tak sadarkan diri. Tak lama kemudian beberapa polisi datang untuk menghentikan masa. Jika tidak, mungkin saja Rudin hanya tinggal nama setelah kejadian itu.

Memakai baju tahanan bukanlah cita-cita Rudin dimasa bocah. Tidur di sel tahanan bukanlah impian Rudin setelah menjadi sarjana. Tapi, setidaknya Rudin sedikit lega. Karena, beberapa bulan kedepan ia tidak harus memikirkan uang kontrakan dan biaya makan bulanan di ibukota; ibu yang kehilangan iba.

Penulis: Triana Wiji Astuti
Pemulung Aksara yang bahagia

Sumber gambar: cnbcindonesia.com

ShareTweetSendShare

Related Posts

REFLEKSI AKHIR TAHUN “Mitos Penanganan Covid-19 di Indonesia”

REFLEKSI AKHIR TAHUN “Mitos Penanganan Covid-19 di Indonesia”

2 Januari 2021
31
Puisi-puisi Ardhi Ridwansyah

Puisi-puisi Ardhi Ridwansyah

26 Desember 2020
58
Puisi-puisi Aris Setiyanto

Puisi-puisi Aris Setiyanto

23 Desember 2020
22
DIY Zona Merah Covid, Warga: Tanggung Jawab Kita Semua

DIY Zona Merah Covid, Warga: Tanggung Jawab Kita Semua

30 November 2020
39
Mampukah Indonesia Sejajar dengan Negara Maju saat Mahasiswa Berperan Menyongsong SDGs

Mampukah Indonesia Sejajar dengan Negara Maju saat Mahasiswa Berperan Menyongsong SDGs

16 November 2020
61
Kosong

Kosong

10 November 2020
87
Gerakan Mahasiswa Sekarang Bisa Melampaui Reformasi 98 atau Enggak Sih ?

Gerakan Mahasiswa Sekarang Bisa Melampaui Reformasi 98 atau Enggak Sih ?

5 November 2020
199

Tetap Tolak Omnibus Law, ARB Gelar Dewan Rakyat

27 Oktober 2020
26
Kata Kuasa Hukum ARB atas Tindakan Aparat Kepolisian Pada Massa Aksi #JogjaMemanggil

Kata Kuasa Hukum ARB atas Tindakan Aparat Kepolisian Pada Massa Aksi #JogjaMemanggil

12 Oktober 2020
57

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • KIRIM KARYA

Follow Us

No Result
View All Result
  • PENDAPA SELINTAS
  • LIPUTAN UTAMA
  • WAWANCARA
  • OPINI
  • SASTRA
  • RESENSI
    • BUKU
    • FILM
  • EDITORIAL

© 2020 LPM PENDAPA TAMANSISWA