Lpmpendapa.com - Ketika pertama kali mendengar tentang penurunan stok rajungan di Laut Jawa, saya merasa heran sekaligus khawatir. Sebagai seorang yang sangat menyukai hidangan laut, terutama rajungan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kita bisa kehilangan sumber daya ini. Laut Jawa, yang telah menjadi sumber utama rajungan untuk pasar domestik dan internasional, ternyata berada dalam situasi yang kritis. Selama bertahun-tahun, tanpa disadari oleh banyak orang, kita mungkin telah mengeksploitasi rajungan terlalu berlebihan, dan kini, kita harus menanggung akibatnya.
Mari kita bicara jujur—perikanan rajungan di Laut Jawa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penelitian yang dilakukan antara 2019 hingga 2022 menunjukkan bahwa stok rajungan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP-NRI 712) ini sudah berada dalam kondisi over exploited alias dieksploitasi secara berlebihan. Salah satu faktor utamanya adalah permintaan ekspor yang terus meningkat, terutama dari Amerika Serikat, yang menyebabkan banyak nelayan kecil terpaksa menangkap rajungan secara besar-besaran, tanpa mempertimbangkan kelestarian stok. Ini bukan cerita baru; tekanan dari pasar selalu memiliki konsekuensi.
Namun, masalahnya tidak hanya pada permintaan pasar yang tinggi. Penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang tidak sesuai standar juga menjadi biang keladi. Di beberapa daerah seperti Lampung dan Jawa Barat, rasio spawning potential ratio (SPR), atau potensi pemijahan, telah menurun drastis. Sebagai contoh, di Lampung, SPR turun dari 27 persen pada 2019 menjadi hanya 19 persen pada 2022. Angka ini mungkin terdengar teknis, tapi bagi seorang nelayan, itu berarti semakin sedikit rajungan yang mampu berkembang biak dan mempertahankan populasi di masa depan.
Pengalaman Pribadi
Saya teringat saat saya dan seorang teman memutuskan untuk mencoba pengalaman memancing rajungan di sekitar pesisir Jawa beberapa tahun lalu. Kami bersemangat—berharap bisa membawa pulang tangkapan segar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah berjam-jam, kami hanya mendapatkan beberapa ekor kecil, jauh dari harapan. Waktu itu saya berpikir, "Mungkin kami hanya kurang beruntung." Tapi sekarang saya sadar, pengalaman itu mungkin lebih dari sekadar ketidakberuntungan. Itu adalah tanda nyata dari masalah yang lebih besar: stok rajungan benar-benar sudah mulai menipis.
Apa yang terjadi pada rajungan di Laut Jawa adalah cerminan dari bagaimana kita sering kali tidak peduli pada kelestarian sumber daya alam hingga terlambat. Banyak nelayan, terutama nelayan kecil, yang terpaksa memikul beban ini. Mereka adalah orang-orang yang bergantung sepenuhnya pada tangkapan harian untuk menghidupi keluarga. Ketika stok ikan dan rajungan menurun, beban ekonomi dan emosional mereka meningkat. Saya tidak bisa membayangkan betapa frustasinya mereka ketika harus pergi lebih jauh ke laut, dengan biaya melaut yang semakin mahal, hanya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang kian berkurang.
Tantangan dalam Pengelolaan Rajungan yang Berkelanjutan
Jika kita ingin menyelamatkan rajungan dari kepunahan, pengelolaan perikanan yang berkelanjutan menjadi kuncinya. Sayangnya, tata kelola perikanan rajungan saat ini masih jauh dari ideal. Metode penangkapan yang merusak dan eksploitasi yang tidak terkendali perlu segera dihentikan. Ada upaya dari pemerintah dan pihak terkait untuk mengendalikan eksploitasi, misalnya dengan menerapkan aturan ketat tentang ukuran rajungan yang boleh ditangkap dan larangan menangkap rajungan bertelur. Tetapi, sampai saat ini, hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Ini mengingatkan saya pada salah satu kesalahan yang saya buat dalam hidup: mencoba menyelesaikan masalah besar dengan solusi setengah hati. Kadang kita berpikir, "Oke, saya sudah melakukan sesuatu. Harusnya ini cukup." Namun kenyataannya, masalah tidak bisa diselesaikan dengan cara yang setengah-setengah, terutama jika kita berbicara tentang kelestarian sumber daya alam. Jika upaya pemerintah saat ini belum membuahkan hasil yang signifikan, itu artinya kita perlu lebih serius dan menerapkan pendekatan yang lebih komprehensif.
Salah satu upaya yang menarik adalah penerapan strategi panen raya (harvest strategy/HS) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2021. Strategi ini bertujuan untuk menjaga stok rajungan di atas target minimum, dengan menetapkan titik acuan target sebesar 30 persen dan batas bawah sebesar 20 persen. Namun, lagi-lagi, meskipun langkah ini terlihat menjanjikan di atas kertas, kenyataan di lapangan belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Dampak Sosial Nelayan Kecil dalam Krisis
Masalah lain yang sering luput dari perhatian adalah dampak sosial dari penurunan stok rajungan. Nelayan kecil adalah pihak yang paling merasakan dampaknya. Banyak dari mereka yang bekerja tanpa perjanjian kerja tertulis, tidak memiliki asuransi kesehatan, dan tidak diberikan perlindungan tenaga kerja yang memadai. Jika Anda pernah bekerja dalam situasi di mana tidak ada jaminan keamanan atau kesejahteraan, Anda pasti tahu betapa stresnya situasi tersebut.
Saya pernah mendengar cerita dari seorang nelayan di Lampung yang bercerita bagaimana biaya melaut semakin meningkat, sementara hasil tangkapan tidak lagi sepadan. Mereka harus pergi lebih jauh ke tengah laut, menghabiskan lebih banyak bahan bakar, namun sering kali pulang dengan tangan kosong. Bayangkan betapa frustrasinya mereka—terutama ketika mereka tahu bahwa kebutuhan pasar terus meningkat, tapi alam tidak bisa lagi menyokong kebutuhan tersebut.
Pemerintah memang telah melakukan survei untuk menilai kondisi pekerja di sektor perikanan rajungan. Hasilnya, banyak nelayan yang bekerja tanpa perlindungan tenaga kerja atau asuransi kesehatan. Selain itu, standar keselamatan kerja di laut juga tidak diterapkan dengan baik, membuat nelayan kecil semakin rentan terhadap kecelakaan.
Perlunya Intervensi yang Lebih Besar
Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi krisis ini? Pertama, kita perlu mendukung upaya pembatasan penangkapan rajungan dan memastikan bahwa nelayan kecil mendapatkan perlindungan yang layak. Seperti yang direkomendasikan oleh Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, evaluasi terhadap program perlindungan dan pemberdayaan nelayan perlu segera dilakukan. Selain itu, sertifikasi HAM bagi usaha perikanan rajungan juga menjadi langkah penting untuk mencegah pelanggaran hak-hak nelayan.
Saya percaya bahwa perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil. Jika kita sebagai konsumen mulai lebih peduli pada asal-usul makanan laut yang kita konsumsi, dan jika pemerintah serta industri perikanan bekerja sama dalam mengelola sumber daya ini secara berkelanjutan, kita masih bisa menyelamatkan rajungan dari kepunahan.
Mungkin kita bisa belajar dari Filipina, yang telah menerapkan pendekatan serupa dengan strategi panen raya untuk mengelola perikanan Blue Swimming Crab (BSC). Mereka menetapkan target dan batas yang jelas untuk memastikan stok rajungan tetap berada pada level yang aman. Ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kelestarian rajungan bukanlah hal yang mustahil.
Pelajaran Apa yang Bisa Kita Petik?
Dari seluruh masalah ini, ada satu pelajaran yang selalu saya ingat: tidak ada yang abadi, termasuk sumber daya alam kita. Kita harus belajar untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan apa yang diberikan oleh alam. Perikanan rajungan adalah salah satu contoh di mana kita harus berhenti sejenak, merenung, dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan bahwa generasi mendatang masih bisa menikmati kekayaan laut kita.
Setiap kali saya memikirkan rajungan, saya teringat akan tanggung jawab kita sebagai manusia. Alam tidak hanya ada untuk dieksploitasi, tetapi juga untuk dijaga. Jika kita terus mengeksploitasi tanpa henti, suatu hari kita mungkin tidak lagi bisa menikmati keindahan dan kekayaan laut kita. Dan saat itu, kita hanya bisa menyesal.
Mari kita mulai dari sekarang—dari hal-hal kecil, seperti mendukung produk perikanan yang berkelanjutan, hingga hal-hal besar, seperti mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih ketat. Hanya dengan cara itu kita bisa memastikan bahwa rajungan, dan sumber daya laut lainnya, akan tetap ada untuk dinikmati oleh generasi mendatang.