Harapan Akan Solusi Kehidupan Nelayan di Pesisir Sumatera di Tengah Kerusakan Ekosistem

Harapan Akan Solusi Kehidupan Nelayan di Pesisir Sumatera di Tengah Kerusakan Ekosistem

Lpmpendapa.com - Petang di pesisir pantai timur Sumatera terlihat tenang. Burung-burung camar berterbangan rendah di atas perahu nelayan yang baru kembali dari laut, membawa hasil tangkapan yang cukup untuk menghidupi keluarga mereka—meskipun jauh dari kata melimpah. Sobri, seorang nelayan rajungan yang sehari-harinya melaut di perairan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menurunkan hasil tangkapannya yang tidak banyak.

"Cuma dapat 7 kilogram rajungan, tapi alhamdulillah, tetap ada hasil meski tak seberapa," ungkapnya.

Ini adalah realitas keseharian bagi Sobri dan ratusan nelayan lain di Langkat, yang bergantung pada rajungan sebagai sumber penghasilan utama mereka. Tapi, sudah bukan rahasia lagi, hasil tangkapan nelayan kecil semakin menurun setiap tahun. Sobri mengingat masa lalu, sekitar 10 hingga 15 tahun yang lalu, ketika sekali melaut dia bisa membawa pulang hasil senilai lebih dari satu juta rupiah. Sekarang, angin perubahan telah datang, membawa cuaca ekstrem, perubahan iklim, dan kerusakan habitat yang membuat tangkapan semakin sulit didapat.

Di hari lain, Abdul Rani, nelayan yang sudah 36 tahun berkecimpung di lautan, hanya membawa pulang 2 kilogram kepiting dan renjong.

"Dulu, sekali melaut bisa dapat lebih banyak," katanya sambil tersenyum getir.

Meski sudah bertahun-tahun menekuni profesinya, Rani menyadari bahwa kini laut tidak lagi menjadi sumber rezeki yang melimpah seperti dulu. Harga kepiting bintang yang hanya Rp15.000 per kilogram dan kepiting renjong senilai Rp20.000 per kilogram, hampir tidak cukup untuk menutup biaya kebutuhan hidup keluarganya. Seperti banyak nelayan lainnya, Rani seringkali terpaksa berutang kepada tengkulak, dengan harapan bisa melunasinya saat hasil tangkapan lebih baik.

Satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi nelayan di Langkat adalah pukat trawl atau 'hella,' alat tangkap yang sangat merusak ekosistem laut. Rani dan banyak nelayan lainnya percaya bahwa pukat ini adalah penyebab utama kerusakan habitat rajungan, menghancurkan tempat-tempat bertelur dan menghancurkan karang.

"Tempat bertelur sudah tak ada lagi, karang rusak," keluhnya.

Meskipun penggunaan alat ini dilarang, masih banyak nelayan yang menggunakannya, terutama di luar kabupaten, menambah tekanan bagi para nelayan kecil yang setia pada alat tangkap ramah lingkungan.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Langkat telah berupaya melakukan sosialisasi tentang aturan penangkapan rajungan. Mereka mempertegas pentingnya menjaga populasi rajungan, dengan mengingatkan nelayan untuk tidak menangkap kepiting yang sedang bertelur.

Ricardo Lumumba Simanulang, Kepala Bidang Perikanan Budidaya dan Bina Usaha di DKP Kabupaten Langkat, menyebutkan bahwa mereka mendorong penggunaan alat tangkap ramah lingkungan seperti jaring rajungan.

Namun, Ricardo juga mengakui bahwa pihak kabupaten tidak memiliki wewenang langsung dalam hal pengawasan terhadap nelayan yang menggunakan pukat trawl.

"Itu sudah masuk ranah pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi," katanya.

Mengenai upaya budidaya rajungan di luar habitat alam, DKP Kabupaten Langkat baru sebatas menangani pengembangbiakan kepiting saja, tanpa ada catatan jumlah nelayan yang mencoba budidaya rajungan. Meski begitu, mereka optimis bahwa populasi rajungan di alam masih cukup stabil, meskipun ancaman terus menghantui.

Di balik segala tantangan yang dihadapi, para nelayan seperti Sobri dan Rani tetap memandang laut sebagai harapan mereka. Namun, seperti kata Sangkot, anggota Dewan Penasehat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), harapan itu perlahan terkikis oleh kenyataan pahit. Kerusakan ekosistem laut, penurunan jumlah populasi rajungan, dan persaingan penangkapan yang semakin sengit telah membuat banyak nelayan beralih profesi.

"Banyak nelayan yang sekarang banting setir jadi pekerja bangunan atau penarik becak motor," ungkap Sangkot.

Keputusan ini mungkin mengurangi angka kemiskinan dalam jangka pendek, tetapi meninggalkan warisan budaya dan tradisi yang tak ternilai.

Salah satu solusi yang mulai dibicarakan adalah mendorong nelayan untuk beralih dari penangkapan alam ke budidaya biota laut bernilai ekonomis tinggi. Budidaya, menurut Sangkot, bisa menjadi jalan keluar bagi para nelayan agar tetap memiliki penghasilan yang stabil tanpa harus terus-menerus merusak ekosistem laut. Meski demikian, menurutnya, pemerintah belum benar-benar serius dalam mengembangkan potensi budidaya ini.

"Pemerintah harus lebih aktif, membantu nelayan untuk beralih menjadi nelayan budidaya," tegasnya.

Nelayan Indonesia, kata Sangkot, masih tergolong sebagai kelompok masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Hal ini terutama karena mereka terus bergantung pada ekosistem laut yang semakin rusak. Dalam jangka panjang, upaya untuk menjaga keberlanjutan populasi rajungan dan biota laut lainnya harus menjadi prioritas. Pemerintah, nelayan, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan, baik melalui program restocking, pembinaan nelayan, maupun pengembangan budidaya yang bisa menjadi alternatif penghidupan.

Di tengah segala tantangan ini, laut tetap memanggil para nelayan kecil seperti Sobri dan Rani untuk kembali melaut setiap pagi. Mereka berharap suatu hari, hasil tangkapan mereka akan kembali melimpah seperti dahulu kala. Tapi tanpa langkah-langkah konkret untuk melindungi ekosistem laut dan memperkuat kesejahteraan nelayan kecil, masa depan mereka tetap penuh dengan ketidakpastian.

Dari sini, kita bisa belajar betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi sumber daya laut. Tidak hanya untuk nelayan, tapi juga untuk seluruh masyarakat yang bergantung pada laut sebagai sumber pangan dan ekonomi. Pertanyaannya sekarang, apakah kita akan terus membiarkan hal ini terjadi, atau kita akan mulai bergerak untuk menyelamatkan ekosistem laut dan kehidupan para nelayan kecil yang menjadi tulang punggung industri perikanan Indonesia?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال