LPM Pendapa Tamansiswa
  • PENDAPA Selintas
  • Liputan Utama
  • Wawancara
  • Opini
  • Sastra
  • Editorial
No Result
View All Result
LPM Pendapa Tamansiswa
  • PENDAPA Selintas
  • Liputan Utama
  • Wawancara
  • Opini
  • Sastra
  • Editorial
No Result
View All Result
LPM Pendapa Tamansiswa
No Result
View All Result
Home Resensi

Kambing dan Hujan Estetika Perbedaan Beragama

by LPM Pendapa
9 Oktober 2019
in Resensi
4 min read
Kambing dan Hujan Estetika Perbedaan Beragama
Share on FacebookShare on Twitter

Kambing dan Hujan Estetika Perbedaan Beragama

Judul : Kambing dan Hujan

Penulis : Mahfud Ikhwan

Penerbit : PT Bentang Pustaka

Cetakan : Pertama, Mei 2015

Jumlah halaman : 373 halaman

ISBN : 978-602-291-027-5

“Saya cuma melakukan apa yang mesti dilakukan orang yang memperjuangkan cinta dan cita-citanya,”

“Apa maksudmu?”

“Saya tak mau menjadi orang berikutnya yang gagal dari keluarga ini.”

(Kambing dan Hujan, hlm. 183)

Perbedaan seringkali menghalangi seseorang untuk mencapai keinginannya. Mencari pemecah perbedaan barangkali telah dilakukan hingga menemui benang kusut yang menumpahkan keputusasaan. Pertentangan, sangat lumrah ditemukan kala mencoba mengesampingkan perbedaan itu. Mengadu, menangis, berharap, dan berdoa seolah menjadi titik akhirnya.

Miftahul Abrar, pemuda yang tumbuh dalam tradisi Islam modern–Masjid Utara–harus mengorek luka lama Pak Iskandar, ayahnya dan Pak Fauzan seorang tokoh Islam tradisional–Masjid Selatan–sekaligus ayah dari gadis yang dicintainya, Nurul Fauzia. Meski seagama, perbedaan cara beribadah dan waktu hari raya tak lantas membuat hubungan mereka diterima. Jarak kultural kepercayaan yang selama ini menjadi prasangka penghalang restu kasih mereka pun, menduduki setengah porsi dari yang dibayangkan. Rencana masa depan yang menjelma pertentangan antara cinta dan norma agama justru menuntun Mif dan Fauzia pada sekelumit rahasia yang selama ini terpendam jauh sebelum mereka siap dilahirkan.

Kawin lari sempat menjadi pilihan agar hubungan mereka terus berlanjut. Namun kepercayaan akan kekuatan cinta dan pentingnya restu orang tua menjadi tekad yang harus mereka dapatkan. Sehabis Isya setelah makan malam bersama, Mif menunggu respon bapaknya atas perkataanya sebelum Maghrib yang begitu sengit dan berani. Cerita demi cerita mengalir hingga interupsi dari Ibu Sri, istri Pak Iskandar alias Ibu Mif menyadarkan mereka bahwa pagi sudah menjemput. Meski akhirnya, permulaan obrolan bapak dan anak ini tak sejalan dengan arah yang diinginkan Mif. Walaupun beberapa informasi disambut baik dan mampu mengaitkan benang merah di lain kisah.

Berbeda dengan Mif yang terus terang sekali waktu, Fauzia sempat memilih mogok makan untuk memperlihatkan kekesalan pada abahnya. Sampai suatu ketika hasil–informasi cerita masa lalu–merajuknya Fauzia pada abahnya dikait-kaitkan dengan informasi yang Mif dapatkan dan membongkar teka-teki yang selama ini mengganjal dalam benak mereka. Berlembar surat puluhan tahun lalu harus mereka hadapi beserta kenyataan rumit di dalamnya.

Novel yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini menyampaikan perdebatan antara dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Meski novel ini membutuhkan pikiran terbuka, kecermatan, dan keseriusan dalam membaca, namun penyajian kekompleksan dan kerumitan permasalahan ditulis dengan narasi yang sangat apik. Tidak hanya menjelaskan mengenai perbedaan niat dalam salat, perbedaan bacaan doa iftitah, ada atau tidaknya qunut saat salat Subuh, tradisi tahlilan dan shalawatan, perbedaan jumlah rakaat tarawih, dan tata cara menjalankan Salat Jumat. Novel ini juga mengaitkan antara persaingan agama, sikap dalam menghadapi peristiwa sosial, sejarah yang terjadi, dan perjalanan sebuah desa menuju perubahan zaman.

Pertentangan antara kaum tradisional dan kaum pembaharu yang memang terjadi saat itu digambarkan sangat detail. Persaingan dan metode penyebaran yang mampu mempengaruhi masyarakat desa serta merta sekaligus melibatkan permasalahan di lingkungan keluarga, dan interaksi dalam bermasyarakat. Selain menyajikan pertentangan kultur, dalam novel juga mengajak pembaca untuk menyikapi perbedaan-perbedaan yang teraplikasi di dunia nyata.

Novel ini mengajarkan bahwa perbedaan tak lantas memutuskan persahabatan, kekeluargaan, dan cinta yang tumbuh dalam setiap orang. Perbedaan sepatutnya disikapi dengan hati-hati, secara dewasa, dan cerdas tanpa meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Komunikasi dan saling keterbukaan tanpa saling menyalahkan menjadi media pemutus kesalahpahaman. Karya sastra ini menjadi pelajaran agar tetap menjaga keberagaman yang akhir-akhir ini dilupakan.

Tags: bukukambingkambing dan hujanmiftahul abrarnovelresensisastra

Related Posts

Resensi Buku The Old Man and The Sea: Berjudi dengan Nasib di Lautan
Resensi

Resensi Buku The Old Man and The Sea: Berjudi dengan Nasib di Lautan

8 November 2019
0
Resensi

TRI PUSAT PENDIDIKAN DALAM BALUTAN FILM KELUARGA CEMARA

20 Juni 2019
0
Kebarat-baratan yang Lupa Daratan
Resensi

Kebarat-baratan yang Lupa Daratan

14 Juni 2019
0
WONDER WOMAN, FILM ERA PERANG DUNIA
Resensi

WONDER WOMAN, FILM ERA PERANG DUNIA

11 November 2018
0
Hereditary, Film Horor Berseni
Resensi

Hereditary, Film Horor Berseni

27 Oktober 2018
0
Resensi

Perjalanan Cinta Di Balik Gejolak Sejarah

6 Juni 2015
0

Arsip

Buletin

LPM Pendapa Tamansiswa

Sekretariat Redaksi : Jl. Miliran No.16, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta.

Navigate Site

  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN PEMBERITAAN MEDIA SIBER
  • STRUKTUR PENGURUS
  • KONTRIBUTOR

Follow Us

No Result
View All Result
  • PENDAPA Selintas
  • Liputan Utama
  • Wawancara
  • Opini
  • Sastra
  • Editorial

Sekretariat Redaksi : Jl. Miliran No.16, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta.